UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Oleh : Irwandi Nasir

SEJAK 8 Juni 2022, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi resmi beralih bentuk menjadi universitas Islam dengan nama Universitas Islam Negeri Sjech Muhammad   Djambek Bukittinggi (selanjutnya disingkat UIN Bukittinggi). Status baru itu disahkan melalui Perpres  Nomor 85 Tahun 2022. Di Sumatera Barat,  selain UIN Bukittinggi,  ada IAIN Batusangkar yang juga beralih bentuk menjadi UIN di tahun ini. Lengkapnya, ada tiga UIN di Ranah Minang saat ini, yaitu UIN Imam Bonjol, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, dan UIN Mahmud Yunus Batusangkar.

            Bagi IAIN Bukittinggi, tekad dan ikhtiar menjadi sebuah universitas telah tumbuh sejak masih berstatus sebagai Sekolah Tinggi Islam Negeri (STAIN) yang dikenal dengan nama STAIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittiggi. Ikhtiar  itu terus dipupuk seiring lahirnya kebijakan   pemerintah yang memberikan perluasan mandat kepada STAIN di seluruh Indonesia untuk membuka program studi selain rumpun studi Islam. Pada 2014, ikhtiar itu membuahkan hasil dengan peralihan status STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. Selama delapan tahun menjadi institut, performansi IAIN Bukittinggi  dari waktu ke waktu menunjukkan kemajuan signifikan untuk sebuah perguruan Tinggi Islam khususnya di luar pula Jawa. Muara dari semua itu adalah perubahan status IAIN Bukittinggi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).

 Kenapa menjadi UIN?

 Secara filosofis-pragmatis, transformasi IAIN Bukittinggi menjadi UIN pada hakikatnya adalah transformasi ajaran Islam ke wilayah yang tidak hanya bercorak doktriner, namun secara aplikatif dapat menjadi model untuk mengkaji Islam dari berbagai perspektif. Disiplin ilmu yang selama ini diposisikan berhadap-hadapan dengan agama Islam akan diredefinisi. Upaya mendefinisi ulang berbagai disiplin ilmu itu ditempuh dengan menggunakan paradigma integrasi ilmu (knowledge integration paradigm). Paradigma ini mengusung pandangan non-dikotomi sehingga tidak lagi menempatkan sains (acquired knowledge) dan wahyu (revealed knowledge) pada garis kontradiktif, namun bersifat dialogis, dan bahkan integratif-interkonektif. Meskipun masih terdapat berbagai hambatan  dalam mengimplementasikan paradigma integrasi ilmu ini, namun dibutuhkan upaya berkelanjutan  untuk memperkuat dan menumbuhkembangkannya. Bahkan, paradigma integrasi ilmu ini menjadi  bingkai berfikir untuk mendesain kekhasan yang unik (distingtiveness) untuk disiplin ilmu yang dikembangkan di UIN Bukittinggi.  

Selain itu, transformasi IAIN Bukittinggi menuju UIN Bukittinggi  dapat dinilai sebagai salah satu  strategi untuk berkontribusi lebih besar dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.  Dunia pendidikan Indonesia umumnya, dan pendidikan Islam khususnya, tengah dihadapkan pada tantangan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang luar biasa. Dari kondisi  Angka Partisipasi Kasar (APK), Perguruan Tinggi diIndonesia  masih bertengger di angka 31 % dari target 37% di tahun 2024. Artinya bahwa dari 21 juta usia   19 sampai 24 tahun (usia mahasiswa) baru dapat diserap sekitar 6 juta orang di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Angka tersebut masih di bawah Filipina dengan APK  35 %, Malaysia (40 %), dan Thailand (50 %). APK ini sangat penting sebab bonus demografi tidak serta merta menjadi kekuatan ekonomi tanpa ada persiapan SDM unggul.  

Sisi pragmatis lainnya dibalik  transformasi IAIN Bukittinggi menjadi UIN adalah untuk menyongsong era persaingan dan globalisasi dengan segala kompleksitasnya. Di tengah  persaingan bisnis pendidikan, setiap perguruan tinggi, tidak terkecuali UIN Bukittinggi selain berjuang untuk tetap eksis dan terus mengembangkan diri, juga harus mampu memenuhi trend pasar pendidikan melalui penawaran program studi lintas disiplin ilmu yang lebih variatif dan distingtif. Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah mahasiswa akan menjadi ‘nafas’ bagi kelanjutan hidup sebuah perguruan tinggi.  Dalam teori sistem dinyatakan  bahwa pemenuhan tren pasar merupakan upaya untuk mengawal institusi pendidikan agar tetap berjalan menuju titik tujuan atau target secara sukses  (entropi positif). Sebaliknya, perguruan tinggi yang ditinggalkan peminat lambat laun akan menuju titik kepunahan dan hancur (entropi negatif). Karenanya,  status sebagai UIN akan membuka peluang hadirnya berbagai program studi baru yang dapat menjawab kebutuhan  pasar pendidikan dimaksud.

Meskipun demikian,  diantara tantangan yang dihadapi  UIN Bukittinggi adalah kesungguhan para dosen  merealisasikan  epistemologi Islam yang menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh  epistemologi Barat. Epistemologi Islam ini yang akan menjadikan pengembangan keilmuan di UIN Bukittinggi sehingga berbeda dengan yang dilakukan universitas yang bukan UIN. Epistemologi Islam menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam, sehingga ilmu bisa diperoleh dari wahyu maupun akal, dari hasil observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis.

 Kembalinya Permata yang Hilang

Secara sosio-historis, kehadiran UIN Bukittinggi terpaut erat dengan kehadiran Perguruan Tinggi Islam di Sumatera Barat yang berawal dengan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Darul Hikmah (1953). Pada 1957, PTAI Darul Hikmah resmi menjadi Universitas Darul Hikmah (1957). Karena adanya pertikaian politik dalam negeri yang berujung pada perang saudara (baca: peristiwa PRRI) , operasional Universitas Darul Hikmah ini akhirnya terhenti.  Universitas Darul Hikmah tidak pernah lagi muncul  hingga tahun 1963 berdiri Fakultas Agama Islam Syar’iyyah (FAIS) di Bukittinggi. Pada 1966, FAIS ini kemudian berubah menjadi Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol (IB)  di Bukittinggi. Fakultas Syari’ah IAIN IB kampus Bukittinggi ini bertahan lebih dari 30 tahun. Seiring dengan kebijakan pemerintah, setiap Fakultas Syari’ah IAIN IB kampus Bukittinggi berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bukittinggi pada 1997. Pada 2014, STAIN Bukittinggi akhirnya naik status menjadi IAIN Bukittinggi.  

Semua fakta sejarah itu menuturkan bahwa pada 1957 telah pernah ada sebuah Universitas Islam berdiri di Bukittinggi dengan nama Universitas Islam Darul Hikmah, namun akhirnya tenggelam, dan muncul kembali dalam wujud yang lain seperti paparan kronologis di atas.  Karenanya, kehadiran UIN Bukittinggi tak ubahnya bagaikan kembalinya  permata yang hilang sejak 65 tahun yang lalu. []

Aksesibilitas