Belenggu Produktivitas Dosen
Oleh : Asyari
Wakil Rektor 1 IAIN Bukittinggi
Produktivitas dosen butuh perhatian serius. Berdasarkan hasil rilis Science And Technology Index (SINTA), per Februari 2022 secara aggregate tercatat jumlah publikasi dosen di google scholar dalam durasi 3 tahun terakhir menunjukkan penurunan. Tahun 2019 jumlah publikasi sebanyak 401.716 artikel, tahun 2020 sebanyak 400.792 dan di tahun 2021 “terjun ” ke 326.901 artikel. Hal yang sama terjadi pada publikasi terindeks Scopus. Tahun 2019 di posisi 46.138 artikel dan di tahun 2021 turun menjadi 38.635 artikel. Begitu juga hasil kerja dosen yang digunakan oleh masyarakat dan mendapat rekognisi internatioanal di tahun 2020 rerata pencapainnya 6.41%. Jika dibandingkan jumlah dosen 29.0573 (PDIKTI Kemendikbud, Feb 2022) artinya setiap dosen memiliki publikasi 1,12 artikel pertahun dan publikasi di Scopus sebanyak 0,13 artikel pertahun.
Di level internasional, World University Ranking 2021 yang memiliki indikator riset juga merilis universitas di Indonesia tidak masuk list QS.100. Hanya ada 3 perguruan tinggi; UGM, UI, dan ITB harus puas bertengger di posisi 250 – 300 an.
Berdasatkan data kuantitatif di atas, tidak salah jika banyak sorotan yang dialamatkan ke produktivitas dosen. Sorotan tersebut melengkapi sorotan lain bak arang di kening tergores ke perguruan tinggi, seperti kasus plagiat, korupsi, pelecehan dan kekerasan seksual, jurnal predator, dan transaksional jabatan yang sejatinya jauh dari dunia perguruan tinggi.
Produksi Inovasi
Sebagai institusi yang menyandang sebutan pendidikan tinggi (higher education), publik menggayutkan banyak ekspektasi pada perguruan tinggi. Masyarakat menunggu berbagai temuan riset, ide -ide bernas dan inovasi yang merupakan produktivitas kaum intelektual nan sarat novelty melalui publikasi ilmiah dosen. Jumlah publikasi selain menjadi indikator eksistensi dan reputasi dosen juga ukuran dampak perguruan tinggi bagi kehidupan masyarakat luas.
Peneliti di bidang pendidikan tinggi, seperti Ladan Cockshut, dan Mariam Hardey dari Durheim University, United Kingdom (2013), Florian Finnder dan Norma Schonherr dari Viena Uiniversity, Autria (2018) serta Banjamin Yeo dari Illinois, USA (2018), menyebutkan dampak perguruan tinggi bukan sekedar produksi human capital tapi lebih dari itu memproduksi inovasi.
Menurut Moulaert, dkk, (2017) dalam Social Innovation and Community Development, inovasi sosial dapat berkontribusi di tengah masifnya degrasi moral dan semakin tergerusnya nilai-nilai dalam masyarakat. Produksi inovasi sosial melalui riset dan publkasi memuat novelty yang di-supply perguruan tinggi menjadi input bagi pembangunan ekonomi, kehidupan sosial masyarakat yang lebih efektif dan efesien serta memiliki sustainable bagi pemecahan masalah sosial.
Perguruan tinggi yang hanya memproduksi human capital hanya memiliki dampak core element dan memiliki traditional role. Sejatinya, perguruan tinggi harus melampui dampak tersebut dengan memproduksi inovasi sosial untuk mengatasi permasalahan sosial masyarakat.
Embrio Minim Produktivitas
Produktivitas dosen melalui publikasi riset dan inovasi sangat penting bagi kesejahteraan kehidupan sosial masyarakat. Namun kenapa dosen minim produktivitas?
Penjelasan klasik yang diberikan adalah soal pendapatan. Income dosen yang rendah dan disparitas yang besar dibanding profesi lain seperti; dokter dan politikus sebagai anggota dewan, memaksa dosen mencari extra income untuk menaikkan tax home pay. Sehingga dosen produktif mencari pendapatan sampingan dibanding melaksanakan riset dan menghasilkan publikasi serta inovasi.
Argumentasi di atas tidak sepenuhnya dapat diterima. Dewasa ini komponen penerimaan dosen sudah bervariasi terdiri gaji pokok plus tunjangan fungsional, sertifikasi dosen 1 kali gaji pokok, selisih tunjangan kinerja dan uang makan sesuai kehadiran. Pendapatan dosen sudah lebih dari cukup. Masalahnya bukan pada jumlah income tapi alokasi income untuk meningkatan produktivitas riset dan inovasi sesuai bidang keahlian yang minim.
Menurut penulis, embrio minimnya produktivitas dosen berawal dari atmosfir akademik yang kian meredup. Suksesi kepemimpinan kampus berjalan tidak sehat. Kepmenristekdikti No. 9 Tahun 2017 Pasal 9 ayat 3, menetapkan Menteri memiliki 35% hak suara dari total pemilih yang hadir dan Senat memiliki 65% hak suara telah membuat proses kepemimpinan kampus tidak lagi murni oleh dan dari warga kampus. Bahkan ada di perguruan tinggi negeri di luar Kemendikbud, secara kuantitatif suara Senat sebagai representasi warga kampus 0%. Senat hanya memberikan pertimbangan kualitatif pada calon pimpinan perguruan tinggi.
Proses suksesi ala ini membuka pintu untuk lobi-lobi ke pusat kekuasaan. dan transaksi politik. Tak jarang pula terjadi jegal-menjegal di kalangan warga kampus dengan kasus dan masalah pribadi masuk ke penyidik baik di Kejaksaan ataupun Kepolisian. Friksi-friksi berdasarkan kepentingan juga terjadi di kampus. Dosen-dosen terpolarisasi berdasarkan friksi dan kepentingan politik praktis kampus. Ironisnya kondisi ini bisa berlangsung selama 1 priode kepemimpinan. Kelompok yang kalah tentu tidak senang dan terus mengerogoti kepemimpinaan kampus. Sementara yang menang berusaha keras mempertahankan kekuasaan dan malanggengkan untuk 2 periode.
Kondisi ini tentu sangat tidak kondusif dan tidak produktif bagi lahirnya riset, publikasi dan inovasi dosen yang bermutu. Produktivitas dosen terbelenggu oleh praktek-praktek politik praktis kampus. Alih-alih mengharapkan meningkatnya produktivitas dosen melalui publikasi dan inovasi yang ada malah produksi persaingan tidak sehat dan dendam politik tak berkesudahan.
Belenggu ini harus segera diungkai dengan melakukan penataan ulang proses suksesi kepemimpinan kampus yang in line dengan semangat otonomi kampus, kebebasan mimbar akademik dan kejujuran ilmiah. Semoga