Oleh : Asyari
Wakil Rektor I IAIN Bukittinggi
OTT KPK terhadap Bupati Kabupaten Purbalinggo, Senin 30 Agustus 2021 bersama suami menambah jumlah pejabat yang diduga mentransaksikan jabatan. Jabatan menjadi “barang ekonomi” dan objek transaksi dengan tarif nan mengiurkan. Idealnya jabatan selain harus ditunaikan dengan baik juga adalah kanal untuk menyalurkan ekspaktasi banyak orang dan merealisasikannya serta menciptakan kondisi kesejahteraan (walfare economic) yang lebih baik.
Transaksi jabatan merupakan bentuk perilaku menyimpang (deviant behavior) di dunia birokraksi. Tulisan berikut mencoba menganalisis perilaku pejabat/birokrat yang mentransaksikan jabatan dari perspektif perilaku ekonomi. Kemudian menawarkan instrumen yang dapat dipakai agar perilaku pejabat tidak out of line.
Penyimpangan Potrer Dis-equilibrium
Janji yang diucapkan oleh setiap pejabat diawal memangku jabatan selain merupakan komitmen atas tugas dan tanggungjawab juga adalah tuntutan yang harus ditunaikan dengan baik, sungguh-sungguh dan penuh semangat. Tidak hanya dari janji, tuntutan juga dapat bersumber dari kewajiban menjalankan visi dan misi organisasi atau pemerintahan dan aturan-aturan tugas yang termuat dalam UU dan perarturan serta ketentuan teknis terkait jabatan yang diemban. Semua ini menjadi demand yang harus dipenuhi.
Setiap pejabat tentunya harus memenuhi demand sebagai bentuk nyatakan melaksanakan komitmen dan bukti kuat atas ketaatan pada aturan dan kesetiaan pada janji. Setiap pejabat harus memperoduksi dan men-supply perilaku (effort) yang sesuai janji jabatan dan aturan yang ada ketika melaksanakan jabatan kepada masyarakat. Kesamaan (equilibrium) perilaku pejabat sebagaimana dituntut (demand) dengan apa yang dilakukan pejabat untuk publik ( supply effort) inilah kondisi yang seharusnya terjadi. Namun dalam kenyataannya, demand dan supply perilaku pejabat bergerak menuju titik yang berbeda dan menciptakan kondisi dis-equilibrium (ketidaksamaan/keseimbangan).
Transaksional jabatan merupakan bukti konkrit supply perilaku pejabat tidak sejalan dengan demand . Setiap pejabat pemerintahan dituntut untuk berperan pro-aktif menciptakan clean and good government. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sebagai penguna jasa layanan harus maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tanpa diskriminasi serta mengayomi. Perilaku transaksional jabatan menjadi noda hitam dan kontraproduktif bagi terciptanya clean and good government. Artinya, perilaku. yang di-supply pejabat bergerak menuju titik yang berlawanan arah. Sehingga kurva ekuilibrium perilaku pejabat menjadi suatu harapan yang masih jauh dari kenyataan.
Kuatkan tiga instrumen
Kondisi ideal yang diharapkan terjadi di dunia birokraksi adalah para pejabat istiqamah dengan janji dan menjadi leader bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Praktek transaksi jabatan baik bagi yang “menjual” maupun bagi yang “membeli” kedua-duanya adalah bentuk perilaku menyimpang (deviant behavior) dari prinsip clean and good government.
Lalu, apa isntrumen yang dapat dipakai agar perilaku pejabat tetap on the track. Banyak jawaban yang terhidang dan tersedia dalam literatur terutama terkait dengan economic behavior. Paling tidak ada 3 instrumen; pertama, penegakkan hukum. Penegakan hukum yang strong sangat dituntut. Hukum yang kuat baik di atas kertas maupun di dalam pelaksanaan akan dapat menjadi insentif bagi terciptanya clean and good government dan menjadi dis-utility (tidak menyenangkan) bagi setiap perilaku yang menyimpang.
Sebaliknya, lemahnya hukum menjadi utility (menyenangkan) bagi pelaku yang menyimpang dari aturan. Perlu diingat, hukum yang lemah bukan monopoli dalam arti tidak cukupnya aturan yuridis yang menjangkau dan mengontrol perilaku pejabat tapi lebih dari itu adalah ketidakkonsistenan dan ketidaktegasan dalam penegakan hukum. Aturan hukum sudah cukup banyak dan bahkan ada yang overload dan tumpang-tindih. Kita tidaklah kurang dari sisi aturan. Tapi yang kurang adalah konsistensi dan strong.
Problem discount hukuman yang marak sekarang ini menjadi wajah terang lemahnya pelaksanaan hukum. Hukuman yang awalnya diharapkan berfungsi preventif dan juga kuratif menjadi tidak optimal bekerja. Penegakan hukum yang lemah ini menjadi variabel yang berkontribusi pada munculnya intensi (niat akan melakukan) dan bahkan perilaku aktual (actual behavior) perilaku menyimpang di dunia birokrasi.
Kedua, agama menjadi instrumen penting dari dalam (instrinsic). Di kalangan economist, agama dipadang berisikan pangilan (beruf/calling) yang bersifat sakral. Setiap perilaku ekonomi (pelaku) yang dijiwai oleh agama akan menjadi sebuah semangat dan menjadi input yang memproduksi nilai-nilai tanggungjawab ke Tuhan, kejujuran dalam berbuat, dan kerja keras. Agama memiliki efek terhadap rendahnya tingkat penyampaian laporan perusahaan yang irregularities (Dyreng, 2010) dan mengurangi transaksi abnormal dan peningkatkan penerimaan (Guire, 2010).
Agama Islam memuat keyakinan adanya kehidupan setelah kehidupan di dunia (hereafter) dapat mendorong perilaku rasional tidak hanya untuk short-run tapi adalah untuk long-run (Azizi. 1996; Iaanccone, 1998). Selain itu, adanya hukuman (punishment) yang diberikan kepada manusia yang melakukan pelanggaran dari ketentuanNya baik yang langsung di dunia (worldly) dan ada nanti di akhirat (divine) memiliki peran dalam mempengaruhi dan mengarahkan perilaku agar tetap on the track (Lehrer, 2004). Keyakinan ini menjadi self-inforcement bagi setiap muslim tidak bebas melakukan apa saja menurut kemauannya dan menyimpang dari ketentuan-Nya.
Ketiga, peneliti di ranah ekonomi menempatkan dan memasukkan cultural belief sebagai variabel pembentuk perilaku. Sebagai nilai-nilai yang kuat dianut dan diamalkan masyarakat, cultural belief dapat menjadi informal enforcement melalui interaksi sosial yang dibangun dan melalui sanksi sosial yang diterapkan (Greif, 1994). Dalam komunitas bisnis di Jepang telah melembaga dengan baik Kubu Nakama. Kubu nakama berfungsi sebagai pelindung dari terjadi perilaku menyimpang dari komitmen (janji) setiap pelaku bisnis. Pelaku bisnis akan berfikir seribu kali jika akan melakukan penyimpangan daru omitmen mengingat sanksi sosial yang sangat berat akan diterima sebagai konsekuensi penyimpangan.
Masyarakat kita memiliki nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan yang dianut kuat dan itu dapat mengatur dan mengarahkan perilaku mereka. Nilai kebersamaan ini dapat dijadikan kontrol sosial untuk meeliminir perilaku menyimpang. Sanksi sosial yang ada di masyarakat dapat dikuatkan untuk preventif munculnya perilaku menyimpang dari nilai-nilai yang sejatinya dihormati dan dijaga.
Akhirul kalam, banyaknya aturan hukum ternyata belum manjur untuk menyegah perilaku menyimpang (deviant behavior) yang terjadi di dunia birokrasi. Nilai-nilai agama dan cultural belief harus diadopsi dan diinduksi dalam upaya menjamin dan menciptakan perilaku pejabat on the track. Semoga