Sertifikat Halal dan Asymmetric Information

          Ribut  soal logo sertifikat halal  “penuh sesak” di ruang diskusi publik; di WAG, Twitter, Facebook. Perhatian publik menjadi tersedot ke soal logo  yang hanya sebagai atribut, tanda,  lambang dan identitas pembeda.  Alhasil,  substansi sertifikat halal sebagai  jaminan kehalalan sesuatu produk bagi konsumen nyaris terbaikan oleh dominasi kontroversi soal logo.

          Bagi suatu produk paling tidak logo memiliki 2 makna; pengenal dan identitas. Sebagai pengenal,  logo memiliki daya magnet perhatian konsumen. Logo diharapkan menjadi brand  yang mudah diingat dan  dikenal luas di kalangan konsumen.        

          Logo sebagai indititas menjadi  penciri khusus yang membedakan  dengan yang  lain. Eksistensi logo  juga menunjukkan  “keistimewaan” di mata konsumen.

           Halal Sebuah Kebutuhan

          Pemenuhan kebutuhan manusia mutlak mencakup dua aspek yaitu; jasmani dan rohani. Hal ini karena manusi adalah makhluk bidimensi  yang diciptakan  Allah Swt  dari dua unsur; jasmani dan rohani.  Unsur jasmani berbentuk fisik atau materi ditunjukkan asal ciptaan dari ; (1).turab (tanah atau partikel debu) dijelaskan dalam;  QS. 3/;59., 22:5., 30:20., 35:11 dan 40: 67., (2). tin (tanah liat) dijelaskan dalam surat; QS.5: 110. 6:2., 7:12., 17:61., 23:12.,32:7., 38: 71, 76., (3). hamain masnun /lumpur  hitam pekat, dijelaskan dalam surat; QS. 15:26., 4.salsal (tembikar kering) dijelaskan di surat;  QS. 55:14

          Sedangkan unsur rohani merupakan unsur manusia yang dibentuk setelah lengkapnya unsur jasmani. Allah Swt meniupkan roh-Nya (QS. 15: 28-29).  Kata nafakha  dalam ayat QS. 15: 28-29 artinya; mengaktifkan  unsur potensial  dan memasukkan udara  sehingga terjadi kehidupan.

          Unsur jasmani dan rohani sebagai anasir pokok manusia memiliki kebutuhan mutlak disupply. Jasmani berbentuk materi memiliki demand bersifat dan berbentuk materi.

          Berbeda dengan rohani yang memiliki karakteristik non-materi  berhajat ke hal-hal yang bersifat rohaniyah. Salah satunya adalah terkait status kehalalan produk dan jasa. yang dikonsumsi dan dinikmati.

          Halal bukan semata soal status dan  legal.  Lebih dari itu, halal menjadi  need  primer  unsur rohani. Setiap konsumsi ke atas barang dan jasa yang mengabaikan kehalalan  berimplikasi rohaniyah (tidak bahagia, gelisah, dan rasa berdosa) meski jasmani/pisik sehat dan bugar. Batin menjerit karena asupan halal tidak disupply.

Komersialisasi Halal

          Dewasa ini halal  sudah menjadi lifestyle dengan potensi ekonomi kian tumbuh besar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Data yang dirilis  oleh The State of Global Islamic Economy Report menunjukkan sebanyak 1,9 juta muslim dunia melakukan spending dengan jumlah  2,02 triliun dolar AS di  enam sektor riil ekonomi syariah. Untuk Indonesia dengan penduduk 87,18% (237.641.326 jiwa)  memiliki transkasi di indusuri halal  Rp. 2,937 triliyun (KNEKS, 2021).

          Saat ini, produk dan jasa  halal didominasi oleh sektor pangan dan kosmetik. Masih banyak sektor dan segmen pasar yang belum tergarap serius. Berdasarkan berbagai hasil riset  potensi perilaku halal konsumen akan tumbuh  besar dan cepat di sektor industri halal, seperti; farmasi,travel dan fashion (Reham, 2018 dan Tatik 2020).

BPJPH Vs asymetric information       

          Dalam UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan
halal sesuai dengan syariat Islam. Untuk legalisasi kesesuaian  itu jaminan produk halal merupakan kepastian hukum terhadap
status kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan
Sertifikat Halal.

          Leading sektor untuk pelaksanaan ini dilakoni oleh  Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal  (BPJPH), kementerian terkait,  Lembaga Pemeriksa Halal (LPH); dan MUI. MUI yang banyak dipahami “tersingkir” atau “ditinggalkan”  tidak lah sepenuhnya benar dan tepat.  Dalam pasal  10 UU No.33 Tahun 2014, ditegaskan terdapat  jalinanan kerjasama BPJPH dengan MUI  
dalam bentuk: sertifikasi Auditor Halal;
penetapan kehalalan produk; dan akreditasi LPH.

          Sebenarnya yang penting diperhatikan adalah posisi dan bargaining  masyarakat sebagai pihak konsumen produk halal. Harus diakui dalam konteks ini masyarakat sebagai konsumen adalah pihak  products and services  taker  yang hanya penerima dan pemakai produk dinyatakan halal.  Para aktor  yang berwewenag mengeluarkan sertifikat halal berposisi sebagai products and services maker.   Sebagai product taker,  masyarakat hanya menerima dan mempercayai sepenuhnya pernyataan halal suatu produk.  Masyarakat memiliki constraints  pengetahuan untuk memeriksa, mengkaji proses pengolahan produk,  sistem penyembelihan; lokasi produk, meneliti peralatan, ruang produksi,  penyimpanan dan memeriksa pendistribusian serta  penyajian produk. Unsur bahan yang berasal
dari; hewan, tumbuhan, mikroba, dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik merupakan hal yang tidak berada dalam “kuasa” dan pengetahuan penuh konsumen. Kondisi ketidakseimbangan informasi antara  konsumen dan aktor berwenang (BPJPH, LPH dan lainnya) ini disebut dengan asymetric information.    

          Kondisi asymectric ini dapat menjadi embrio munculnya perilaku opurtunis dan egois. Potensi industri halal yang begitu besar selalu merayu dan mengoda pihak terkait untuk menegasikan  kejujuran dan kehatian-hatian dalam melegalisasi kehalalan produk dan jasa. Sejatinya inilah yang harus “diributkan” dan dikritik.   Para aktor yang terkait sertifikasi halal  harus  dipastikan steril dari perilaku menyimpang  (deviant behavior)  sekalipun peluang ada.

          Kepastian  jaminan produk dan jasa  bersertikat halal tentu lebih penting dan utama dibanding ribut soal logo halal yang hanya sebagai tanda dan indentitas. Menutup rapat  munculnya  perilaku  meraut keuntungan dari ceruk pasar industri halal nan besar adalah harga mati. Semoga

Aksesibilitas