Rokok dan Kaji Ulang Pengajaran Ekonomi

Untuk menekan angka perokok dari anak usia sekolah, kebijakan menjauhkan mereka dari iklan rokok harus diikuti dengan mengkaji ulang materi pengajaran perilaku konsumsi, bahwa merokok itu perilaku yang tak rasional.

Tulisan Mukhaer Pakkanna yang berjudul ”Rokok, Kemiskinan, dan Perempuan” (Kompas, 3/6/2023) menarik dicermati dari perspektif perjalanan Indonesia menuju pintu gerbang Generasi Emas 2045. Menuju ke sana, ternyata tidak sunyi dari ancaman yang membuntuti. Ancaman itu adalah keterpaparan bahaya rokok di kalangan anak usia sekolah yang kian dalam.

Berdasarkan data statistik, ada 33,03 persen pemuda usia 18-24 tahun menjadi perokok aktif dan prevalensi perokok usia 10-18 tahun naik dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Dengan demikian, Indonesia Emas yang diidamkan terwujud 23 tahun ke depan dikhawatirkan bisa menjadi ”Indonesia Lemas”.

Meskipun pemerintah telah menelurkan berbagai instrumen kebijakan, seperti menaikkan tarif cukai rokok, meningkatkan literasi bahaya rokok, membuat ekosistem hidup sehat tanpa asap rokok, hal itu harus diakui belum mangkus menekan laju naiknya jumlah perokok yang didominasi dari kalangan anak usia sekolah (generasi Z). Label peringatan kesehatan bergambar di setiap bungkus rokok belum mampu menimbulkan persepsi (attitude) risiko rokok dan mencegah smooking use.

Baca juga: Iklan dan Promosi Rokok Masih Terus Membayangi Anak

Aksi di ruang simalakama

Kebijakan tegas dalam soal rokok membawa pemerintah ke ruang simalakama. Problem krusial ketenagakerjaan, pendapatan, dan politik kait-berkelindan menjadi implikasi berat. Penutupan pabrik rokok akan memperpanjang barisan pengangguran dari 7 juta penganggur yang eksis saat ini, masifnya efek berganda yang muncul baik di ranah ekonomi maupun di bidang sosial. Pendapatan pemerintah dari sektor pajak dan cukai yang selama ini menjadi primadona akan turun drastis sehingga aliran dana ke pundi-pundi negara berkurang serta anggaran belanja terkoreksi.

Tentu kebijakan ini tidak populis, terlebih lagi di saat perhelatan pemilihan presiden (pilpres), pemilihan anggota legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan digelar tahun depan yang membutuhkan kondisi aman dan stabilitas ekonomi terkendali. Alih-alih menaikkan elektabilitas, kebijakan itu justru kontra-produktif dan dapat mencoreng reputasi pejabat yang berkuasa sekarang akan maju dan bertarung di 2024.

Sudah saatnya pemerintah harus sepenuh hati, tegas, jauh basa-basi, dan full attention, serta care dalam menekan angka prevalensi perokok.

Berat memang bagi pemerintah berhadapan dengan pilihan ini. Publik pemilih dari kalangan pebisnis rokok yang memiliki kekuatan dana dan pekerja/buruh di sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang beserta keluarga mereka tentu menjadi kekuatan dan segmen suara yang tidak bisa diabaikan. Namun, tentu tidak berarti aksi/langkah untuk menekan jumlah perokok berhenti.

Sudah saatnya pemerintah harus sepenuh hati, tegas, jauh basa-basi, dan full attention, serta care dalam menekan angka prevalensi perokok. Pemerintah mesti melakukan evaluasi komprehensif dan holistik terhadap instrumen kebijakan yang telah dan sedang berjalan, terutama terkait kanal literasi bahaya rokok dan kaji ulang pengajaran ekonomi, mulai di level menengah pertama sampai ke perguruan tinggi.

Progesif dan masif

Meminjam logika strategi pemasaran, ketepatan pilihan diksi dan narasi serta media promosi sangat berperan vital dalam menyasar dan membidik segmen tertentu untuk tujuan akhir menaikkan penjualan dan memaksimalkan keuntungan. Setiap konsumen memiliki tipologi yang berbeda dan memiliki perilaku yang berbeda pula. Oleh karena itu, model promosi tidak dapat digeneralisasi untuk semua tipologi konsumen.

Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, komposisi penduduk Indonesia dari total penduduk 270,20 juta, sebesar 27,94 persen adalah kluster generasi Z (gen Z) yang berada dalam rentangan usia 8-23 tahun. Dalam perspektif ekonomi, mereka adalah segmen kekuatan pasar. Pada 15-25 tahun ke depan, generasi ini akan mengakses dunia kerja, memiliki pendapatan/penghasilan, dan segmen konsumen terbesar. Oleh karena itu, mereka dipertimbangkan dan diperhitungkan sebagai target pasar.

Baca juga: Rokok Ancam Generasi Emas

Segmen gen Z ini berbeda dengan kelompok lainnya. Mereka memiliki daya adopsi media informasi teknologi yang lebih baik dan lebih masif. Mereka sangat akrab dengan kanal-kanal komunikasi virtual dan animasi. Menu-menu informasi singkat dan padat lebih mudah dilirik para gen Z. Internet menjadi sumber referensi utama mereka dalam mengambil keputusan.

Karakteristik gen Z tersebut menuntut model dan treatment khusus dalam mendekati mereka. Sangat penting pesan-pesan bahaya rokok yang disebarkan secara luas melalui berbagai kanal platform media sosial, seperti Youtube, Whatsapp, Facebook, Instagram Story, atau Snapchat Story, TikTok, Line, Twitter, Reddit, Pinterest, dan Tumblr serta dalam bentuk film animasi. Konten promosi micro-story telling menjadi konten yang lebih cepat dan mudah diterima serta berkesan bagi mereka.

Pendekatan ini harus lebih dimasifkan dan lebih diprioritaskan daripada cara-cara tradisional, seperti baliho, spanduk, dan selebaran, atau label bergambar ancaman tumor dan kematian bagi perokok. Hasil riset Kowalewska dan Kołłajtis-Dołowy, 2018 menemukan bahwa penyampaian informasi dengan kanal elektronik ini selain lebih informatif dan disukai juga mudah memagnet perhatian dan konsentrasi kalangan gen Z.

Selain itu, membuat jarak iklan rokok yang menyampaikan pesan komersial dan konsumtif yang membangkitkan ”nafsu” merokok harus lebih jauh dari episentrum sekolah atau sentra-sentra pendidikan yang mayoritas anak usia sekolah berkumpul. Informasi iklan memiliki pengaruh signifikan terhadap keterpaparan mereka.

Hal ini terbukti dari hasil riset yang dirilis Tobacco Control Support Centre (TCSC) dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun 2018, bekerja sama dengan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union) beserta 15 universitas/organisasi masyarakat sipil lokal pada 2018, bahwa tingkat keterpaparan 1,59 kali lebih besar untuk menjadi perokok.

Lebih ekstrem lagi, temuan Sri Handayani, dkk pada 2021, terdapat hubungan yang signifikan posisi iklan dengan perokok di kalangan anak muda. Anak usia sekolah yang terpapar iklan rokok memiliki peluang mulai dari terendah 2,16 sampai 5,16 lebih besar untuk menjadi perokok.

Temuan Sri Handayani, dkk pada 2021, terdapat hubungan yang signifikan posisi iklan dengan perokok di kalangan anak muda.

Kebijakan menjauhkan mereka dari titik poin iklan rokok harus diikuti secara simultan dengan upaya kaji ulang materi pengajaran perilaku konsumsi. Dalam mata pelajaran ekonomi, para siswa dan mahasiswa dihidangkan informasi pengetahuan (objective knowledge) bahwa tindakan konsumen yang rasional memiliki pencapaian maksimum kepuasan (maximum utility). Utility memiliki pengertian; kegunaan, keuntungan dan yang menciptakan kondisi terbantu sehingga jika tercapai, muncul kepuasan (utility).

Embrio pemikiran ini diusung Jeremy Bentham (1748-1832) dan Hermann Heinrich Gossen (1800-1858), yang menyatakan bahwa konsumen yang rasional adalah konsumen yang mencapai maximum utility. Medium untuk menggapai kepuasan adalah uang. Jumlah yang dimiliki menjadi variabel penting menggapai maximum utility. Kekurangan uang akan mengantarkan seseorang dis-utility. Uang juga menjadi kendala (constraint) untuk mewujudkan kepuasan yang maksimum.

Itulah bangunan konsep rasional perilaku konsumen yang diajarkan dan diterima oleh gen Z di jenjang pendidikan. Rasional ini cenderung menjadikan konsumen bersifat egois dan bermental self-interest. Ruang gerak konsumen dalam mencapai maksimum kepuasan hanya dibatasi oleh jumlah uang yang dimilikinya. Asal kepuasan maksimum tercapai, risiko merugikan diri sendiri dan membahayakan orang lain tidaklah penting.

Rasional seperti itu telah menjadi pengetahuan obyektif (yang diperoleh melalui proses faktual dan pembelajaran) dan membentuk serta memengaruhi perilaku. Pengetahuan ini membuat konsumen akan cepat mentransfer niat (intention) berbuat kepada actual behaviour.

Terkait upaya menekan angka perokok dari kalangan anak usia sekolah, perlu dilakukan revisi total materi perilaku konsumsi ke yang lebih humanis dan altruistik. Rasional maksimum kepuasaan mesti diubah menjadi maksimum rasional humanis.

Baca juga: Anak Bebas Rokok

Kemudaratan bagi diri sendiri dan orang lain menjadi kendala (constraint) dalam mencapai maksimum kepuasan. Setiap yang memudaratkan diri sendiri dan orang lain itu yang tidak rasional. Merokok adalah perilaku yang tidak rasional karena membahayakan diri sendiri. Orang lain sebagai perokok pasif menerima bahaya jauh yang lebih berat dari perokok aktif.

Jika Indonesia tidak mau kehilangan momentum Generasi Emas, sejatinya langkah-langkah ini harus menjadi pilihan dan digiatkan. Lagi pula langkah ini tidak akan membawa pemerintah ke ruangan simalakama. Semoga.

Aksesibilitas