Rektor UIN Bukittinggi: Prof. Nasaruddin Umar Layak Jadi Penerima Nobel Perdamaian

Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (kanan) bersama Paus Fransiskus saat menandatangani dokumen kemanusiaan di Plaza Al Fatah, kompleks Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis 5 September 2024. Dokumen berisi komitmen kerukunan hidup beragama bersama Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar. TEMPO/Subekti.

Bukittinggi, 28 Oktober 2025 — Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech Muhammad Djamil Djambek Bukittinggi, Prof. Dr. Silfia Hanani, M.Si., menyampaikan bahwa Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A., layak diusulkan sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian atas kontribusinya yang luar biasa dalam membangun jembatan perdamaian lintas agama, bangsa, dan budaya.

Menurut Prof. Silfia, kiprah Imam Besar Masjid Istiqlal itu mencerminkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin, Islam yang damai, toleran, dan berkeadaban. Ia menilai, dedikasi Nasaruddin Umar tidak hanya mengharumkan Indonesia di kancah global, tetapi juga menjadi inspirasi bagi dunia akademik Islam modern.

“Prof. Nasaruddin Umar bukan hanya seorang ulama besar, tetapi juga duta perdamaian global. Pemikiran dan keteladanannya merepresentasikan Islam yang terbuka, humanis, dan menjunjung tinggi kemanusiaan universal,” ujar Prof. Silfia Hanani di Bukittinggi, Selasa (28/10/2025).

Sebagai Cendekiawan Muslim Global, Nasaruddin Umar aktif memperjuangkan nilai-nilai perdamaian melalui forum-forum internasional seperti Vatikan, Universitas Al-Azhar Mesir, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia dikenal karena pandangannya yang moderat dan sikapnya yang menjembatani perbedaan melalui dialog dan tindakan nyata.

Selain dikenal sebagai Tokoh Lintas Agama Dunia, Nasaruddin Umar juga kerap diundang dalam pertemuan pemimpin agama sedunia seperti Forum Daring Peace di Vatikan yang diselenggarakan Komunitas Sant’Egidio. Dalam forum itu, ia menegaskan pentingnya persaudaraan universal tanpa sekat teologis.

Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar berhasil menjadikan masjid kebanggaan bangsa tersebut sebagai pusat peradaban inklusif — tempat berkumpulnya pemuka lintas iman, diplomat, dan akademisi dunia.

Puncak kontribusinya tampak dalam Deklarasi Istiqlal pada kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia tahun 2024, yang menjadi simbol kesepahaman antaragama di Indonesia dan diakui sebagai model harmoni dunia.

Prof. Silfia menilai, kiprah tersebut merupakan puncak dari tradisi intelektual Islam Indonesia yang berpijak pada nilai kemanusiaan.

“Beliau telah menjadikan Islam bukan sekadar sistem keyakinan, tetapi peradaban yang menyejukkan. Dunia membutuhkan sosok seperti Prof. Nasaruddin Umar — tokoh yang menjadikan spiritualitas sebagai kekuatan pemersatu umat manusia,” tegasnya.

Rektor UIN Bukittinggi juga menyebut bahwa keteladanan Nasaruddin Umar menjadi inspirasi bagi perguruan tinggi keagamaan Islam untuk terus menumbuhkan semangat riset, dialog, dan pengabdian berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal.

Aksesibilitas