
DEPOK — Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, Prof. Dr. Silfia Hanani, tampil sebagai pembahas dalam Forum Annual International Conference on Islamic Studies Plus (AICIS+) 2025, Kamis (30/10/2025), yang berlangsung di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat.
Dalam sesi bertema “Peacebuilding and Humanitarian Crises: Proposing Sustainable Strategies for Reconciliation and Responses to Global Humanitarian Challenges”, Silfia memaparkan tiga lensa utama dalam membangun perdamaian berkelanjutan: struktural, teologis, dan diplomatik.
Ketiganya, menurutnya, membentuk jejaring utuh antara akar budaya, nilai spiritual, dan kebijakan global yang berpadu dalam satu tujuan: menciptakan tatanan kemanusiaan yang damai dan berkeadilan.
Pada level struktural, Silfia menilai perdamaian sejati tumbuh dari bawah melalui penguatan kearifan lokal, lembaga sosial-keagamaan, dan praktik budaya yang hidup di masyarakat. Tradisi seperti tahlilan, slametan, atau sistem nilai Dalihan Na Tolu yang ada di Sumatera Utara disebut menjadi modal sosial penting dalam menjaga kohesi dan menyembuhkan luka sosial akibat konflik. Pendekatan ini, yang disebutnya sebagai “peace from below”, menegaskan pentingnya dekolonisasi pengetahuan perdamaian—bahwa solusi atas masalah sosial dan kemanusiaan harus berpijak pada moralitas dan budaya masyarakat sendiri.
Sementara itu, pada level teologis, pakar sosiologi agama itu menekankan perlunya penafsiran ulang ajaran agama agar menjadi etika sosial yang kontekstual dan responsif terhadap tantangan global. Ia mendorong pengembangan teologi perdamaian lintas iman yang mampu menjawab isu-isu kemanusiaan kontemporer seperti krisis ekologi, migrasi, dan perkembangan teknologi.
Dalam pandangannya, ajaran agama tidak berhenti pada dogma, tetapi menjadi sumber inspirasi bagi solidaritas dan tanggung jawab kemanusiaan bersama.
Adapun pada level diplomatik, Silfia Hanani menyoroti peran agama dan lembaga keagamaan sebagai aktor penting dalam diplomasi kemanusiaan. Kolaborasi antarnegara Muslim moderat, menurutnya, perlu diperkuat untuk menghadapi berbagai krisis global yang kian kompleks. Diplomasi berbasis nilai spiritual ini dinilai mampu menjembatani kepentingan politik dan kemanusiaan, serta memperkaya kerja sama internasional dalam membangun perdamaian dunia.
“Model perdamaian khas Indonesia adalah perdamaian yang lahir dari kehidupan sehari-hari—dari ritual, adat, dan semangat gotong royong yang meneguhkan keadilan sosial,” jelasnya.
Forum AICIS+ 2025 diikuti peserta 31 negara dan menjadi ruang pertemuan penting bagi para akademisi, peneliti, dan pemimpin keagamaan untuk merumuskan strategi perdamaian yang berakar secara lokal, bermakna secara teologis, dan berpengaruh secara global.
Kontributor: Irwandi
