Bukittinggi (Humas) – Upaya membangun tradisi ilmiah yang kritis dan reflektif kembali diperkuat oleh Pusat Studi Agama dan Kearifan Lokal (AKAL) Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi.
Melalui forum Bedah Disertasi yang digelar secara hybrid pada Jumat (09/05/2025), AKAL Research Club menghadirkan kajian mendalam atas tema klasik namun paling problematik dalam studi hadis dan qira’at: Sab‘atu Ahruf.
Forum ini menghadirkan paparan disertasi Yulia Rahmi yang bertajuk “Rekonstruksi Pemahaman Hadis-hadis Sab‘atu Ahruf”, sebuah kajian kritis yang berupaya membongkar pemahaman lama tentang pluralitas bacaan al-Qur’an dan mengarahkan fokus ke dimensi fonetik dan performatif bahasa Arab Qur’ani.
Kegiatan ini dipandu oleh Febriyeni, serta menghadirkan dua pembahas akademik, Nurlizam dan Helfi, yang membedah gagasan Yulia dari perspektif metodologis dan historis.
Dalam pemaparannya, Yulia Rahmi menekankan bahwa Sab‘atu Ahruf selama ini kerap disalahpahami karena tiadanya konsensus ulama yang definitif. Dengan menggunakan pendekatan tekstual, kontekstual, dan intertekstual, ia menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah tujuh versi teks al-Qur’an, melainkan variasi dalam pelafalan atau pengucapan, yang diberikan sebagai bentuk rukhṣah (keringanan) bagi umat awal Islam yang berasal dari berbagai suku dan latar bahasa.
“Sab‘atu Ahruf bukanlah bentuk pluralitas teks wahyu, tetapi merupakan strategi pedagogis Nabi untuk mempermudah umat dalam menerima wahyu,” jelas Yulia. “Jika kesulitan baca sudah teratasi, maka kebolehan tersebut tidak lagi relevan. Saya melihat ini sebagai bentuk maqāṣid dari hadis tersebut: mendorong literasi Qur’ani yang lebih kuat dan terstandardisasi,” tambahnya.
Nurlizam memberikan apresiasi atas keberanian metodologis Yulia yang mencoba keluar dari pembacaan tekstual klasik. Ia menyebut bahwa disertasi ini membuka ruang baru untuk melihat hadis-hadis Sab‘atu Ahruf dengan kacamata metodologis yang lebih segar.
“Kita tidak bisa terus-menerus berada dalam kebingungan makna akibat warisan narasi yang tidak kunjung dikritisi,” ungkap Nurlizam. “Yulia berusaha mengajak kita keluar dari itu, dengan menekankan bahwa ‘bacaan’ di sini lebih pada fonetik sosial daripada redaksional wahyu. Ini sangat penting untuk ditekankan dalam kajian qira’at kontemporer,” paparnya.
Namun demikian, Nurlizam juga memberikan catatan metodologis. “Saya kira, perlu juga ditelusuri bagaimana validitas sanad hadis-hadis ini ditelaah secara ketat, agar kesimpulan tidak hanya berdiri di atas tafsir kontekstual, tapi juga pijakan historis yang kuat,” tambahnya. Ia juga menyoroti bahwa persoalan Sab‘atu Ahruf tidak hanya menyentuh aspek teknis bacaan, tetapi juga menyentuh wacana otoritas kodifikasi mushaf.
Sementara itu, Helfi, menggarisbawahi bahwa tema Sab‘atu Ahruf memang sangat kompleks karena berada pada persimpangan antara ilmu tafsir, ilmu tajwid, dan ilmu hadis. Ia menyebutkan bahwa sejak awal, tema ini memang sudah memancing kontroversi. “Kita sedang membedah wilayah abu-abu antara otentisitas wahyu dan dinamika sosial umat penerima wahyu. Yulia telah masuk ke wilayah itu dengan cukup berani,” ungkapnya.
Helfi menyampaikan pertanyaan mendasar yang menurutnya perlu terus dieksplorasi. “Pertanyaannya bukan hanya apa itu Sab‘atu Ahruf, tetapi mengapa dan untuk siapa ia dihadirkan. Apakah ini murni pedagogis? Atau ada dimensi diplomasi linguistik antar kabilah Arab saat itu?” katanya. Ia juga menambahkan, “Kalau ini rukhṣah, maka kapan masa berlakunya habis? Apa indikator bahwa ia sudah tidak relevan lagi? Ini belum banyak dibahas secara praktis dalam disertasi ini,” sambungnya.
Dok : Forum Bedah Disertasi Pusat Studi AKAL berlangsung secara Hybrid via zoom meeting dan Luring di Aula Gedung FUAD, Jumat (09/05/2025)
Dialog antara pemapar dan narasumber mengalir hangat namun kritis. Peserta forum yang terdiri dari dosen, mahasiswa pascasarjana, dan peneliti muda turut menyampaikan pertanyaan-pertanyaan mendalam, termasuk isu keabsahan bacaan qira’at yang berkembang di tengah masyarakat, serta bagaimana otoritas pembacaan harus diposisikan dalam ruang pendidikan Islam kontemporer.
Kegiatan ini menjadi ruang produktif untuk membangun dialektika akademik yang tidak hanya menggali teks-teks klasik, tetapi juga menawarkan kerangka berpikir baru yang relevan dengan tantangan zaman.
Ketua AKAL Research Club, Zulfan Taufik, dalam sambutannya mengatakan, “Forum ini adalah bentuk ikhtiar kita untuk menjadikan tradisi ilmiah sebagai napas akademik kampus. Keberanian untuk berpikir, menyusun argumen, dan membuka ruang tafsir baru adalah ciri utama dari peradaban ilmiah,” tutupnya.
Bedah disertasi ini pun menjadi bukti nyata bahwa ruang akademik harus senantiasa menjadi tempat yang subur bagi gagasan-gagasan baru yang berani, reflektif, dan berbasis pada pertanggungjawaban ilmiah yang kokoh. (*Humas UIN Bukittinggi/WA)
Kontributor : Zulfan Taufik