Dosen IAIN Bukittinggi, H.Irwandi Nashir, yang juga penggiat integrasi IPTEK dan IMTAQ
dalam pembelajaran di Sumatera Barat saat menjadi narasumber Workshop Pembelajaran Berbasis Integrasi IPTEK dan IMTAQ
di Yayasan Pendidikan Islam Raudhatul Jannah Payakumbuh, Sabtu, 10/4/2021. (IST)
Proses pendidikan kita masih bercorak tajam sebelah yang ditandai dengan kuatnya corak dikotomi dalam pembelajaran. “Dikotomi atau memisahkan antara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan Iman dan Taqwa (IMTAQ ) masih mewarnai proses pembelajaran terutama di sekolah dan madrasah”, ungkap dosen IAIN Bukittinggi, H. Irwandi Nashir.
Dikatakannya, kondisi ini tak lepas dari menguatnya cara pandang yang memisahkan ilmu dalam rumpun ilmu umum dan ilmu agama. Apalagi, sambungnya, munculya paham yang disebut dengan deisme turut menghambat upaya integrasi IPTEK dan IMTAQ dalam pembelajaran. “Paham ini menyakini alam ini awalnya diciptakan oleh Tuhan, tapi setelah itu Tuhan tak lagi mengurusi alam ini. Jadi, mirip seperti pembuat jam yang tak lagi mengurusi jam usai membuat jam”, jelas penggiat integrasi IPTEK dan IMTAQ dari IAIN Bukittinggi ini.
Akibat langsung dari dikotomi dalam pembelajaran, lanjut Irwandi, adalah keringnya jiwa peserta didik dengan siraman ayat-ayat Allah Ta’ala saat mereka mempelajari ilmu yang terlanjur disebut sebagai ilmu umum. Disisi lain, peserta didik juga belum mendapatkan pengayaan wawasan tentang sains dan teknologi saat mereka mempelajari ilmu agama.
Irwandi Nashir menegaskan, integrasi IPTEK dan IMTAQ dalam proses pembelajaran adalah sebuah keniscayaan. Menurutnya, program integrasi IPTEK dan IMTAQ ini telah lama ada di Indonesia. Bahkan, tahun 1996 pernah diedarkan silabus integrasi IPTEK dan IMTAQ untuk 11 mata pelajaran, tetapi gagal dalam proses pembelajaran. Penyebab utamanya, sambungnya, adalah rendahnya pengetahuan agama guru-guru umum sehingga membuat mereka tidak mampu menarasikan dan mengembangkannya dalam pembelajaran.
Dijelaskannya, integrasi IPTEK dan IMTAQ dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan strategi saling dukung, meluruskan, dan pendekatan filosofis. “Strategi saling dukung dilakukan ketika temuan sains dapat mengungkap makna yang ada di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Apalagi, al-Qur’an mengandung 170 ayat tentang alam semesta yang memerlukan riset ilmiah untuk menggali pesan yang terkandung di dalamnya”, terang trainer senior Lembaga Edukasi Karakter Bangsa ini.
Ditambahkannya, prinsip meluruskan diterapkan ketika ditemukan materi pelajaran yang berseberangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. “Penerapan prinsip meluruskan ini menuntut pengetahuan agama yang luas dari guru-guru dan kemampuan untuk menarasikannya secara komunikatif” jelasnya. “Materi atau proses pembelajaran jika tidak ada pertentangan dengan nilai IMTAQ dan juga tak ada yang dapat dijadikan sebagai dukungan peningkatan IMTAQ, maka strategi integrasi dilakukan dengan pendekatan filosofis, yaitu bahwa IPTEK tersebut bersumber dari ciptaan Allah Ta’ala yang sesuai dengan fitrah atau hukum keiomua yang berlaku”,ungkapnya. []