Posisi Pemerintah dan Masyarakat di Tata Kelola Zakat

          Berlarutnya  kepastian pengukuhan dan pelantikan Pengurus Badan Amil Zakat  Nasional Daerah Sumatera Barat priode tahun 2020-2025 telah menimbulkan  berbagai spekulasi opini publik.  Ada yang menyatakan bahwa usulan seleksi ulang calon pengurus Baznas Daerah Sumbar yang diusulkan Pemda Sumatera Barat ke Baznas pusat bulan Juli 2021 lalu merupakan bukti nyata ikutnya “tangan” Pemda dalam urusan  tata kelola perzakatan. Pemda ditengarai ikut ambil peran dalam menentukan  personil  kepengurusan. Pendapat lain,  Pemda harus hadir dan  memiliki kepentingan dalam tata kelola zakat agar potensi zakat yang sangat besar dimiliki dapat dikelola dengan baik. Dukungan kuat pemerintah daerah dibutuhkan agar Baznas  menjadi kuat secara organisasi. Terakhir, ada yang berpandangan Baznas daerah  harus steril dari campur tangan pemerintah agar secara kelembangaan Baznas  menjadi otonom dan mandiri. 

          Menegasikan peran pemerintah dalam urusan tata kelola zakat tidak lah sepenuhnya tepat dan benar tapi juga sepenuhnya salah dan keliru. Untuk dapat menatakelola  zakat dengan baik dibutuhkan   dukungan kekuasaan. Tidak hanya itu, berbagai regulasi  dari pemerintah dibutuhkan sebagai dasar  legitimasi dan sebagai payung  hukum dalam operasional. Namun memberikan porsi ruang yang besar kepada pemerintah  dapat memunculkan kekhawatiran dan bahkan kecurigaan. Pemerintah akan “leluasa” memainkan  “tangannya” sehingga tata kelola zakat terdistorsi oleh kepentingan penguasa. Lalu bagaimana seharusnya peran pemerintah? dimana posisi pemerintah dalam tata kelola zakat ?  dan dimana peran serta masyarakat?

 Tata kelola   yang dicurigai

          Independensi dan professionalitas menjadi faktor penting bagi  keberhasilan dalam mengarap potensi zakat yang besar namun belum optimal.  Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Muda, dkk (2006) dan Mujiyati, dkk (2010) mengungkap bahwa organizational factor yang meliputi tata kelola organisasi zakat yang baik dan professional akan meningkatkan trust masyarakat. Trust yang dimiliki akan menjadi magnet untuk  meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membayar zakat. Organizational factor dimaksud terdiri dari, ketersediaan tempat pelayanan zakat yang baik dan nyaman, kemandirian dan otonomi,   dan dukungan sistem informasi yang transparan dan akuntabel.

          Soal kemandirian dan otonomi yang dimiliki kelembagaan Baznas daerah  dewasa ini menjadi perhatian dan sorotan masyarakat. Secara normatif, kelembagaan merupakan pengemban amanah  agar  zakat  dapat dihimpun, dikelola dan didistribusikan ke yang berhak menerimanya. Tujuan akhir adalah  meningkatnya kesejehteraan masyarakat, memperkecil gini ratio dan menciptakan keadilan sosial serta mengurangi angka kemiskinan. Untuk dapat tetap mengwujudkan hal tersebut Baznas seyogyanya tidak terkontaminasi dan steril dari berbagai warna kepentingan dan intervensi banyak pihak manapun.

            Fungsi intermediasi antara muzakki dan mustahiq yang diperankan oleh Baznas daerah menjadi daya tarik tersendiri  dan dapat merayu pihak-pihak tentu untuk menyelipkan kepentingan.  Banyaknya orang-orang mustahiq  (penerima zakat)  yang dilayani dan panjangnya antrian kaum dhuafa sebagai penerima zakat dari muzakki (orang yang berzakat) menjadi lahan garapan subur untuk menanam dan membangun penciptraan  dan mendayung biduk kepentingan di hadapan publik mustahiq. Apalagi  oleh pihak-pihak yang opportunis mencapai tujuan dan kepentingan tertentu kondisi ini sangat empuk. Sehingga kekhatiran banyak pihak fungsi intermediasi tidak berjalan baik karena sudah diwarnai, ditumpangi  dan diintervensi pihak lain memiliki probilitas besar untuk terjadi. Sekaligus inilah yang jadi embrio  bagi tata kelola zakat yang dicugai karena ada kepentingan tertentu.

 

Belajar dari sejarah

          Era khulafaurasyidin sering dipandangan sebagai masa yang menjadi rujukan dalam menata keloala zakat. Khalifah pertama Abu Bakar as-Shiddiq yang dikenal sabahat yang paling senior nan lembut dan penuh kasing sayang namun terkait dengan urusan tata kelola zakat beliau sangat tegas dan “garang”. Beliau membentuk  pasukan khsusus  dengan misi khusus memerangi para pembangkang  yang enggan membayar zakat. Sikap  tegas dan keras ini dilatarbelakangi  pandangan orang yang enggan membayar zakat berarti  menjadi pembangkang. Setiap  pembangkangan  konsekuensinya berhadapan  dengan  kekuasaan.         

          Umar bin Chattab yang melanjutkan kepemimpinan Abu Bakar dengan menetapkan kebijakan     zakat  tetap dipungut  dan menjadikanya sebagai salah satu sumber primadona bagi pendapatan negara.  Bedanya, di Umar dilakukan diversifikasi jenis komoditi yang  dibebani kewajiban  zakat. Kepeimpinan yang dilaknjutkan oleh Usman bin Affan  meski dalam durasi kepemimpina yang pendek namun zakat di masa kepemipminan beliaudikuatkan dengan ditetepaknya kaedah kaedah yang penting diperhatikan sebagai kewajiban agama,  pertama, kewajiban  zakat merupakan  kewajiban tahunan kecuali zakat pertanian  yang harus dikeluarkan tiap panen. Kedua, zakat  merupakan  kewajiban  yang harus   jadi diperhatian serius kaum muslimin. Setiap pemilik  harta harus   hati-hati dengan harta  mereka.  Jika  dalam harta  yang dimiliki terdapat  utang maka  harus dikeluarkan supaya dapat  diketahui  apakah ada atau tidak kewajiban zakat dari harta  yang tinggal. Ketiga, jika kewajiban  zakat  tidak ada,  maka  sangat dianjurkan untuk beramal kebaikan   berupa   sedekah. Di masa kepemipinan Ali  bin Abi Thalib “suhu” politik yang memanas akibat belum tuntasnya proses suksesi kepemimpinan pasca wafatnya Usman namun kebijakan tegas Ali tetap jalan terkait kepastian zakat sebagai pendapatan negara disamping harta rampasan perang (fai, ghanimah) infaq, shadakah,  dan harta si mayit  yang tidak memiliki ahli waris.

          Dari sejarah di atas, kita dapat menarik pelajaran bahwa irisan zakat dan kekuasaan dalam tata kelola adalah penguasa dengan kekuasaan yang dimiliki   memberikan dukungan kepastian dan kekuatan memaksa bagi aturan yang dikeluarkan. Sehingga dengan  adanya  unsur memaksa pengumpulan dan pendistribusian  zakat berjalan dengan baik.  Khalifah sebagai penguasa memberikan kepastian hukum dan dukungan kuat agar zakat dapat dihimpun, dan disalurkan dengan baik. Optimalisasi pengumpulan zakat dapat tercapai karena adanya kekuaasan yang mem-back up. Kekuasaan dan kepentingan politik khalifah diarahkan untuk adanya kepastian dan kekuatan bagi  institusi zakat dalam menghimpun dan mendistribusikan.

          Lalu bagaimana dengan peran serta  masyarakat? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dan diikuti oleh  aturan turunnya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, peran serta masyarakat jelas mendapat tempat dan ruang. Masyarakat diberikan ruang untuk menjalankan fungs-fungsii pengawasan terhadap tata kelola zakat yang menyimpang dari aturan dan kontra produktif bagi pencapaian meningkatnya kesejehteraan masyarakat, memperkecil gini ratio dan keadilan sosial serta mengurangi angka kemiskinan. Selain melakukan pengawasan masyarakat berperan dalam meningkatkan kesadaran berpartisipasi membayarkan zakat serta  pro aktif memberikan usul saran kontruktif bagi kenerja lembaga zakat lebih baik.

          The last but not the least, zakat merupakan instrumen penting dan sumber pundi-pundi bagi kesejahteraan ummat.  Estimasi potensi  dana umat dari zakat yang begitu besar namun belum tergarap secara optimal membutuhkan  perhatian dan kerjasama berbagai elemen baik masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah dengan sumber daya dan kekuasaan yang dimiliki diharapkan dapat diarahkan untuk mendukung dan menguatkan kelembagaan zakat yang memiliki otonomi dan kemandirian. Di lain pihak,   kesadaran masyarakat menunaikan zakat diharapkan terus membaik. Peran serta pengawasan dari masyarakat juga diharapkan agar lembaga zakat  berjalan sesuai khittah dan jauh dari aroma kepentingan. Semoga

Aksesibilitas