Perguruan Tinggi Kembali Ke Khittah
Oleh; Dr. Asyari, S.Ag., M.Si
Wakil Rektor 1 IAIN Bukittinggi
Akhir-akhir ini dunia perguruan tinggi memagnet perhatian publik. Pasalnya, ada dua sorotan menusuk yang dialamatkan ke perguruan tinggi. Pertama, mencuatnya persoalan plagiarisme yang mewarnai gelaran suksesi di Universitas Sumatera Utara. Kandidat pimpinan perguruan tinggi diterpa masalah self-plagiarism pada salah satu karya ilmiah yang bersangkutan saat mengusulkan bahan guru besar. Kedua, jamak dilakukan yaitu pemberian gelar Honoris Causa ke berbagai pihak di luar dunia kampus dan bahkan sama sekali tidak beririsan dengan masalah akademik. Pemberian ini ditengarai sarat warna dan aroma politik dan cenderung menegasikan norma akademik dan perasaan keadilan akademik.
Sorotan menusuk ini bukan hal baru dan tidak pula terbatas pada dua soal di atas. Telah ada juga sebelumnya seperti, masalah perguruan tinggi memproduksi lulusan mis-link dengan dunia kerja, kolusi dan nepotisme di dunia kampus, korupsi yang menyandung kaum akademisi, dan kekerasan dan aksi killer oknum insan akademik, praktek transaksional nilai serta perilaku lainnya yang kontra produktif dengan nilai-nilai atau norma akademik yang sejatinya dijunjung tinggi. Sorotan ini bukan dimaksudkan menyudutkan dunia kampus. Tapi ini merupakan bukti nyata dan kuat bahwa masyarakat masih memiliki atensi dan ekspektasi yang tinggi pada dunia perguruan tinggi. Sorotan mesti dimaknai sebagai kritik nan konstruktif dan kontrol sosial terhadap perguruan tinggi dan insan akademik. Perguruan tinggi harus “melihat kedalam” dan melalukan self evalution.
Core Business Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi adalah sektor yang memiliki peran dan fungsi terkait hal-ihwal dunia pendidikan tinggi. Dunia ini akrab dengan kajian, penelitian, pengembangan dan tranformasi ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi memberikan manfaat bagi sebesar-sebesarnya untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Perguruan tinggi juga sebagai dunia pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai tanggungjawab, kemandirian, kepemimpinan, dan kejujuran. Oleh karenanya out put perguruan tinggi, sebagaimana dijelaskan di Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 26 ayat 42, adalah lulusan yang siap menjadi anggota masyarakat (pen- warga negara) yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Berbeda dengan jenjang pendidikan sebelumnya — pendidikan dasar dan menengah – hanya memproduksi lulusan yang bertumpu hanya pada proses pendidikan dan pengajaran an sich. Perguruan Tinggi memiliki peran dan fungsi lebih luas dan beraksentuasi pada 3 aspek kewajiban yang familiar dengan sebutan tri dharma (tiga tugas hidup);pendidikan-pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Penelitian menjadi salah satu core business perguruan tinggi. Pilihan seseorang untuk menjadi bagian dari perguruan tinggi, – dosen atau guru besar – memliki konsekuensi tugas tri dharma. Satu di antara tugas tersebut adalah melakukan penelitian. Core business perguruan tinggi ini membuat perguruan tinggi selalu kaya dengan inovasi dan selalu ada sesuatu yang baru. Hal inilah yang membuat perguruan tinggi selalu eksis dan menjadi pusat perhatian banyak kalangan manapun. Sangat aneh memang jika perguruan tinggi tidak memproduksi hal yang baru. Eksistensinya akan tamat dan bagunan yang besar dan tinggi bak menara gading jika tidak memproduksi yang baru (Imam Suprayogo, 2016).
Dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi di Bab IV Pasal 58 juga dijelaskan bahwa pada perguruan tinggi menjadi center bagi pengembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi, kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran, pengembangan peradaban bangsa. Oleh karenanya perguruan tinggi menjadi wadah pembelajaran mahasiswa dan masyarakat serta wadah pendidikan calon pemimpin bangsa. Pada model Triple Helix, posisi perguruan tinggi ditempatkan sebagai sektor yang memiliki tugas dan peran penting bagi sektor pemerintah dan sektor ril. Perguruan tinggi melalui kajian-kajian kritis,analitis dan sistematis keilmuan dan pengujian ketat di laboratorium mengalirkan kontribusinya ke sektor pemerintah dan dunia usaha. Hasil kajian kritis dan komprehensif terhadap beranekaragam teori-teori di -supply ke sektor pemerintah agar dapat diimplementasikan dalam menunjangan tugas-tugas sektor pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Sektor dunia usaha menerima aliran supply sumber daya manusia yang terampil dan siap pakai sesuai need dunia usaha. Pemerintah dan dunia usaha adalah user out put perguruan tinggi.
Komitmen Akademik
Penting memahami tugas pokok dan fungsi serta core business perguruan tinggi sebagaimana dipaparkan di atas agar setiap insan akademik memiliki kiprah yang in-line dengan tupoksi. Selain itu, dunia kampus steril dari perilaku-perilaku yang kontra-produktif dengan nilai-nilai akademik. Abbas Hamami M (1996) menyebutkan ada 5 yang menjadi karakteristik kaum akademik; (1) tidak ada rasa pamrih (2) bersikap selektif (3) adanya rasa percaya diri dan budi (mind) (4) adanya sikap yang berdasar pada suatu belief (5) memiliki sikap selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001, dijelaskan etika keilmuan yang mesti dijunjung tinggi oleh seorang ilmuan selain menjaga nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi juga agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Hal inilah yang harus tetap dijaga oleh seorang ilmuan sebagai komitmen akademik. Komitmen ini tidak boleh lapuak dek hujan dan langkang dek paneh.
Namun berkaca pada wajah “hitam” yang menjadi sorotan publik di atas, penulis memandang sedang terjadi degradasi pemahaman tugas pokok, peran dan fungsi perguruan tinggi dan hakekat akademisi di kalangan insan akademik. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, tanggungjawab, dedikasi, kemandirian dan otonomi serta kebebasan mimbar akademik yang seyogyanya selalu melekat dan menjadi “pakaian” dengan balutan nilai integritas pelan mulai tergerus. Raihan reputasi akademik sampai di jenjang tertinggi diperoleh dengan cenderung mencederai nilai-nilai akademik itu sendiri. Rayuan jabatan dan posisi mentereng di struktural membutakan mata sehingga rambu-rambu akademik dilabrak dan bahkan cenderung menghalalkan segala cara.
Selain itu, dunia perguruan tinggi mulai terkontaminasi oleh unsur berbau kepentingan politik praktis dan kelompok/golongan nan jangka pendek. Kepentingan tersebut masuk melalui pintu suksesi kepemimpinan kampus. Pemilihan pimpinan kampus tidak lagi murni dari, oleh dan untuk kalangan kampus sebagaimana dulu. Pasal 9 Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 19 tahun 2017, menjelaskan perihal suara Menteri dan Senat. Menteri memiliki 35% hak suara dari total pemilih dan Senat memiliki 65% hak suara. Lobi-lobi, tawar-menawar, hubungan “mesra” dan komunikasi “intim” dengan pemilik suara dari penguasa masuk dan terjadi berawal dari pintu ini. Hutang politik (suara) pun terjadi. Bak bunyi adagium, There no ain’t such thing as a free lunch. Muaranya tentu imbal dari smua itu.
Sekalipun tidak dapat dielakkan karena kampus memiliki regulator dan segala regulasi harus ditaati namun tentu nilai-nilai akademik tetap dijaga kokoh dan dipegang kuat. Idealisme insan akademik tentu tidak tergadaikan dengan kepentingan praktis short-term yang terkadang di luar akal sehat, kontra dengan nilai tanggungjawab, kemandirian, kepemimpinan, dan kejujuran serta prinsip berfikir kritis,analisis dan sistematis. Sorotan publik ke perguruan tinggi di atas harus dibalikarahkan ke positif dengan memperkuat jati diri ke kembali ke khittah. Semoga–