Penyimpangan di Jalur Mandiri dan Kebijakan Akreditasi

Ada kecenderungan perguruan tinggi negeri memperbesar kuota penerimaan jalur mandiri. Agar tata kelola seleksi calon mahasiswa baru nirpraktik penyimpangan, perlu ada penambahan ketentuan tentang syarat akreditasi.
Asyari (Wakil Rektor 1 UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi) –

Pelaksanaan seleksi penerimaan calon mahasiswa baru (CMB) dari jalur prestasi (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi/SNBP) telah usai. Kini perguruan tinggi negeri bersiap menyelenggarakan jalur tes (Seleksi Nasional Berdasarkan Tes/SNBT) dan jalur mandiri. Jalur mandiri merupakan kanal penerimaan CMB yang sangat seksi dan rawan penyimpangan oleh oknum ”dalam dan luar” PTN.

Upaya mitigasi dilakukan dengan merevisi Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 6 Tahun 2020 menjadi Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2022 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Diploma dan Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri. Namun, peraturan tersebut belum kuat dan tegas sehingga belum dapat diharapkan maksimal perhelatan seleksi CMB di jalur mandiri nir-penyimpangan. Dibutuhkan regulasi yang memuat narasi tegas dan kuat beserta sanksi berat sehingga tidak ada ruang bagi PTN melakukan praktik menyimpang dalam pelaksanaan seleksi mandiri.

Rahim penyimpangan

Klusterisasi PTN ke PTN Badan Hukum (PTN-BH) dan PTN Badan Layanan Umum (PTN-BLU) merupakan praktik nyata aksi pengurangan peran finansial pemerintah dalam pembiayaan pendidikan tinggi. PTN-BH dan PTN-BLU diberikan kuasa melalui unit bisnis memproduktifkan aset tangible danintangible. Income yang diperoleh dapat dikelola secara mandiri. Hilir dari klusterisasi ini adalah terciptanya kemandirian perguruan tinggi.

Tak dapat dimungkiri pula bahwa klusterisasi tersebut melahirkan problem. Unit bisnis atau usaha yang dimiliki PTN belum sepenuhnya berjalan baik dan memberikan high return. Unit bisnis mesti berjuang keras dan berjibaku menghadapi kompetitor di sektor riil.

Ekspektasi bahwa unit bisnis sebagai penyokong pundi-pundi dan kemandirian PTN masih butuh waktu mewujudkannya. Alhasil, pendapatan (income) dari mahasiswa menjadi pos pendapatan primadona, pasti, cepat, dan mudah didapat apalagi dengan mengunakan dominasi ”tangan” petinggi PTN.

Di sisi lain, pihak eksternal kampus sangat masif ”menawarkan” kemampuan beli kursi pada prodi-prodi dengan peminat tinggi dan marketable, seperti kedokteran, manajemen, dan bisnis digital. Bak gayung bersambut, aksi kongkalikong oknum pihak dalam dengan luar PTN tak terelakkan.

Akumulasi problem ini menjadi rahim tempat lahirnya aneka penyimpangan di sepanjang tahapan tata kelola penerimaan CMB jalur mandiri. Bentuk aksi penyimpangan dimaksud seperti utak-atik jumlah daya tampung yang cenderung melampaui kuota, mengubah status kelulusan, dan menurunkan passing grade sehingga CMB tertentu lolos seleksi (Chatarina Muliana Girsang, 2023).

KPK melalui Direktorat Monitoring Kedeputian Pencegahan dan Monitoring merilis hasil Kajian Mitigasi Korupsi pada Tata Kelola Penerimaan Mahasiswa Baru di Perguruan Tinggi Negeri pada Forum Group Disscusion (FGD) Pimpinan PTN Wilayah Barat di Jakarta, 17 April 2023. Data dari enam PTN membuktikan kecenderungan PTN memperbesar kuota penerimaan jalur mandiri sebesar lebih 40 persen (PTN-BLU) dan lebih 60 persen (PTN-BH). Alasan yang mengemuka terkait kecenderungan ini adalah untuk memenuhi target penerimaan keuangan.

Regulasi singa ompong

Untuk menciptakan tata kelola perhelatan seleksi CMB clear dan clean dari penyimpangan dibutuhkan regulasi tegas dan sanksi nan berat. Proses di hulu harus menutup pintu masuknya praktik-praktik kumuh yang mencederai prinsip keadilan dan transparansi serta mereduksi kualitas akademik.

Pemerintah telah mengubah Permendikbud No 6/2020 menjadi Permendikbudristek No 48/2022. Aksentuasi perubahan terjadi pada detail tindakan preventif dan post pada tahapan seleksi CMB yang dimuat pada Pasal 8. Sebagai preventif, PTN diharuskan menentukan jumlah mahasiswa yang diterima berdasarkan rasio dosen dan mahasiswa, metode penilaian calon mahsiswa baru tes mandiri, kerja sama dengan pihak konsorsium, menilai berdasarkan prestasi akademik, tersedia kanal bagi masyarakat untuk melaporkan penyimpangan.

Di tahapan post, PTN secara terbuka mengumumkan kuota tak terisi dan kekurangannya, dan menyediakan masa sanggah pasca-pengumuman hasil tes selama lima hari kerja. Perubahan hanya bersifat teknis dan normatif.

Regulasi ini tidak memuat bab, pasal, dan frasa yang secara eksplisit, tegas, dan kuat menyatakan sanksi berat bagi PTN yang melakukan penyimpangan di kanal seleksi mandiri. Meski di BAB VIII Pasal 28 diatur pembinaan dan pengawasan dimana ada pembatalan keputusan PTN tentang peserta yang lulus seleksi, tetapi itu harus melewati proses sarat birokrasi dan administrasi. Regulasi ini bak singa ompong tanpa taring.

Tanpa menafikan upaya pemerintah, ketentuan ini tentu sudah baik dibandingkan sebelumnya tetapi harus diakui pula masih lemah. Proses administrasi dan birokratisasi membutuhkan waktu yang dapat saja dikhawatirkan keputusan akhir tidak jelas atau ”masuk angin”. Dibutuhkan regulasi atau ketentuan yang tegas tanpa basa-basi sejak dari hulu sudah menjamin dan memastikan PTN harus patuh pada tata kelola seleksi CMB. Tidak ada ruang bagi PTN bergerak untuk menyimpang dari ketentuan yang tegas, kuat, dan sanksi tegas.

Ijazah tidak sah

Menurut penulis, hal penting mendesak mesti dilakukan agar tata kelola seleksi CMB nir praktik penyimpangan adalah dengan menambahkan ketentuan tentang syarat perlu dan peringkat akreditasi sebagaimana dimaktub pada Peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) No 5/2019 tentang Instrumen Akreditasi. Aturan ini mesti segera direvisi dengan memasukkan butir tentang keterpenuhan rasio yang rasional antara dosen tetap dengan mahasiswa 1:25 untuk program studi eksakta dan 1:40 bagi sosial sebagai syarat perlu terakreditasi.

Untuk butir ini setiap program studi harus memperoleh nilai maksimal 4 sehingga dapat dinyatakan terakreditasi. Aturan ini harus diberlakukan ke semua program studi, tidak hanya yang diakreditasi oleh BAN-PT tetapi juga oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM).

Ketentuan tegas tentang rasio ini sebagai syarat perlu akreditasi membuat PT tidak memiliki pilihan lain kecuali harus patuh. Tidak ada ruang gerak untuk melanggar. Melanggar ketentuan atau tidak mencapai nilai maksimum di butir ini maka berakibat fatal, yaitu PTN tidak terakreditasi. PTN tidak boleh mengeluarkan atau menamatkan alumni, dan ijazah yang dikeluarkan PTN tidak sah.

Selama ini yang menentukan status peringkat terakreditasi program studi (APS) dan akreditasi institusi perguruan tinggi (AIPT) dari 69 butir yang dinilai dimatrik penilaian instrumen AIPT dan APS tidak termasuk butir yang terkait rasio dosen dengan mahasiswa secara ketat. Dengan demikian, menjadi ruang bagi PT untuk melakukan aksi penyimpangan.

Dengan revisi regulasi ini yang memiliki implikasi nan fatal, maka PTN akan berpikir seribu kali untuk menyimpang. Diharapkan perhelatan seleksi CMB di jalur mandiri akan berjalan adil, transparan, dan nihil penyimpangan. Semoga.●

Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2023/05/09/penyimpangan-di-jalur-mandiri-dan-kebijakan-akreditasi

 

Aksesibilitas