Pandemi, Perceraian dan Ketahanan Ekonomi Keluarga
Oleh: Asyari
Wakil Rektor I IAIN Bukittinggi
Dalam sebulan terakhir, alih-alih menunjukkan penurunan, Virus Covid 19 kembali menunjukkan “taring” dan tren penyebaran naik dengan indikasi jumlah positif terinveksi dan bahkan varian baru juga muncul serta efek terhadap lapangan kehidupan ekonomi dirasakan semakin dalam. Rilis BPS terbaru menginformasikan bahwa 3 sektor usaha yang terdalam terkena dampak Covid 19 adalah industri pengolahan 52%, kontraksi 51,37% dan akomodasi dan makan-minuman 50,52%. Pelaku usaha di 3 sektor tersebut didominasi oleh UMK 33,23 % dan UMB 46, 64%. Semua sektor mengalami penurunan pendapatan 82 %, pendapat tetap 14,6% dan meningkat 2,55%. 8 dari 10 perusahaan mengalami penurunan pendapatan (Rilis BPS Semester 1 2021).
Tidak berhenti mendera lapangan ekonomi, efek Covid 19 juga mengalir dan menjalar ke sektor rumah tangga dalam bentuk ancaman terhadap keharmonisan dan kelangenggan serta ketahanan rumah tangga. Kondisi ekonomi keluarga yang terganggu dan tergerus dari efek multiplayer Covid-19 dalam tergangungnya sumber-sumber pendapatan. Sebagian dampak ekonomi nyata Covid 19, seperti; PHK, turunnya daya beli, melesunya dunia usaha sehinga income yang turun, dan lainnya. Akumulasi persoalan telah menghembuskan badai yang menjadi ancaman bagi keutuhan rumah tangga. Perceraian menjadi pilihan oleh pasangan suami-isteri di tengah badai Pandemic kian kuat dan beban himpitan ekonomi yang kian berat sementara sumber-sumber pendapatan berkurang dan tidak ada sama sekali.
Perceraian dalam angka dan Faktor Ekonomi
Data perkara perceraian yang masuk ke pengadilan baik Pengadilan Agama maupun Negeri secara umum beberapa tahun belakangan menunjukkan tren naik. Ti tahun 2020 di Pengadilan Agama 465.528. 3 tahun sebelumnya (2017), 415.510, (2018), 447.417, (2019), 480.618. Di Pengadilan Negeri Tahun 2020 berjumlah 17.008. Dibading 3 tahun sebelumnnya terjadi peningkatan (2017) 13.526 (2018) 15.424 (2019) 16.947. Berdasarkan survei nasional diperoleh data bahwa pada Tahun 2015 terdapat 5,89 % pasangan atau setara 3,9 juta pasangan dari 67,2 juta rumah Tangga bercerai dan di tahun 2020 naik 6,4 % darri 72,9 juta rumah tangga atau setara 4,7 juta bercerai. Menurut Komnas Perempuan, determinasi percepaian menempatkan faktor ekonomi di urutan ke dua teratas bersama faktor kekerasan rumah tangga ( Tempo Mei 2021 dan BPS Survei Sosial Ekonomi 2015 dan 2020).
Dalam berbagai riset terkait faktor-faktor perceraian ditemukan bahwa terkait moral yang meliputi poligami tidak sehat dan cemburu, meninggalkan kewajiban, kawin paksa dan ekonomi, tidak ada tanggung jawab, kawin di bawah umur, penganiayaan, dan terus-menerus berselisih. Embrio semua masalah perceraian didominasi masalah ekonomi. Masalah ekonomi menjadi bom waktu yang dapat meledak dan mengancam serta mengoyang ketahanan dan keberlanjutkan rumah tangga.
Kuatkan Kematangan Mental dan Cultural Belief
Perlu ada perhatian khusus, upaya serius dan aksi penangganan jitu dan terukur dari berbagai pihak terkait untuk berkontribusi mengatasi masalah perceraian di era pandemi ini. Sebagai unit terkecil, rumah tangga memiliki peran krusial bagi tatatan kehidupan lebih makro. Muhammad Quraish Shihab menyebutkan bahwa rumah tangga adalah “ummat kecil” yang memiliki peran dan pengaruh kepada umat besar yaitu negara. Rumah tangga memiliki peran daya dukung dan bangkit bagi suatu negara. Jika arus yang mengalir ke sebagai daya dukung dan daya bangkit adalah harmonis, sehat sehat, dan kuat dari rumah tangga maka berimplikasi logis kepada negara yang kuat dan sehat pula ( Quraish Shihab, 1997).
Berbagai kajian yang telah dilakukan para ahli dapat dihimpun temuan bahwa anak-anak yang kedua orang tuanya bercerai biasanya mengalami penurunan kualitas kehidupan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan dis-harmonisasi yang terjadi di pimpinan keluarga (suami dan isteri). Perceraian suami dan isteri juga mengakibatkan ganguan income bagi anggota keluarga dalam bentuk penurunan pendapatan keluarga. Selain itu, perceraian juga dapat membuat anak-anak menghadapi risiko yang lebih tinggi untuk menerima pelecehan dari anak lainnya dan rentan terkena masalah kesehatan. Pada saat bersamaan, trauma psikologis yang dialami oleh anak korban perceraian menjadikan mereka mudah menderita stres, depresi, dan kecemasan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Untuk itu, menurut penulis, kematangan psikolgis dan ekonomi bagi pasangan untuk memulai bahtera rumah tangga urgen kembali diperhatikan bahwa start membangun rumah tangga tidak cukup hanya didasari niat melaksanakan perintah dan sunah Rasul Saw juga penting adalah kematangan psikis dalam bentuk kedewasaan pandangan, pikiran, keluasan, dalam keterbukaan dalam menyikapi aneka masalah pasca berumahtangga. Selain itu juga memiliki spirit siap berjuang, etos kerja tinggi, ihsan serta itqan ( berusaha secara profesional).
Berumahtangga akan melahirkan berbagai kewajiban ekonomi bagi pimpinan rumahtangga untuk ditunaikan diri sendiri, ke anggota dan karib kerabat keluarga. Pentingnya kematangan ekonomi secara eksplisit ditegaskan di QS.24:33, dan kematangan ekonomi itu dalam bentuk kesiapan secara ekonomi.
Argumen penting dapat dikemukakan untuk upaya memperkuat daya tahan ekomomi rumah tangga di saat kondisi ekonomi tengah didera pandemi adalah belum diketahui secara pasti kapan berakhir serta ditambah lagi keterbatasan bantuan dari pihak luar.Berbagai eviden mengungkap bahwa model bertahan hidup oleh rumah tangga di saat kian beratnya beban ekonomi rumah tangga di saat ekonomi sulit dalam bentuk bervariasi, seperti migrasi ke daerah lain untuk bekerja, merubah struktur konsumsi dan pengurangan pengeluaran untuk pakaian, peralatan rumah, biaya kesehatan, komunikasi, hiburan, tempat tinggal dan jasa. Selain itu ditemukan melakukan pengembangkan hubungan sosial dalam berbagai tujuan memperoleh pinjaman, menjual kayu bakar, pindah ke daerah lain dan bekerja walau dengan upah yang rendah. Sebagian rumah tanga memilih cara ekstrem pindah agama dan menjual darah langsung ke orang yang membutuhkan atau ke rumah sakit/bank darah, memeras pemilik/pengendara yang memarkir mobil di parkiran dan mengkonsumsi obat-obat terlarang untuk memunculkan penampilan yang menakutkan.
Model-model yang ditemukan di atas dapat dijadikan alternatif sebagai upaya memperkuat daya tahan ekonomi kerluarga sejauh tidak kontra produktif dengan ajaran agama. Lebih lanjut, jika digali nilai-nilai budaya Minang yang diyakini yang dikenal dengan istilah cultural belief dalam bentuk model diversifikasi income. Diversivikasi sumber income ini diungkap dalam adagium, batanam nan bapucuak dan mamaliharo nan banyawa serta di dulang ameh di sungai, di tambang ameh jo loyang dan ditaruko gurun jo bancah. Hasil diversifikasi income ini digambarkan, padi manguniang, ayam batalu, jaguang maupiah dan tanak bakambang biak. Hal ini mengambarkan bahwa orang Minang tidak mengenal sumber income tunggal. Income tunggal akan membuat ruang gerak kemampuan ekonomi rumah tangga terbatas dan sulit bertahan di masa pandemi.
Model ketahanan ekonomi rumah tangga yang dibangun dari membangun kembali kematangan mental pasangan sebelum berumahtangga dan menguatkan cultural belief yang menjadi guine local wisdom dalam bentuk diversivikasi sumber incoem harus selalu dikapiltasi dan diproduktifkan serta dilestarikan. Acaman dan gangguan ketahanan ekonomi rumahtangga yang dapat hadir setiap saat dan tak bisa dipungkiri akan menjalar ke ancaman ketahanan ekonomi keluarga serta negara senantiasa hadir diharapkan melalui model ini rumahtangga survive dan dampak dapat dieleminir .Semoga!