Pandemi dan Giving Behavior
Oleh: Asyari
Wakil Rektor 1 IAIN Bukittinggi
Pembatasan dan penyekatan skala kehidupan baik mikro maupun makro untuk menghambat laju mutasi Virus Covid-19 harus diakui telah menciptakan trade off bagi bidang kehidupan lainnya. Efek dari pembatasan usaha dan mobilitas serta aktivitas sektor esensial dan non-esensial diharapkan jumlah terinfeksi Covid 19 semakin menurun membutuhkan durasi waktu relatif panjang. Namun akibat lain, seperti kehilangan lapangan pekerjaan, penurunan pendapatan, kenaikan angka kemiskinan dan ketimpangan pengluaran begitu semakin lebar, nyata, cepat dan semakin dalam.
Telah banyak dikucurkan bantuan yang menyasar masyarakat terdampak Covid 19. Tercatat mulai dari priode awal wabah Covid 19 hadir Maret 2020 sampai medio Juli 2021 telah dirilis 9 program bantuan yang digelontorkan dari pundi-pundi pemerintah dengan anggaran lebih kurang 148,23 triliun (Tribunnews.com, 22 Juli 2021). Pundi-pundi keuangan pemerintah tentu akan terus terkuras dan dapat menimbulkan problem krusial bagi pos alokasi lain yang juga penting dibiayai.
Dalam konteks ini, sektor-sektor non-pemerintah (civil society) harus pro-aktif berperan mengerakkan empati dan solidaritas sosial terhadap kelompok yang terkena dampak Covid 19. Ttranfer harta kekayaan atau kepemilikan baik atas dorongan berbasis pada kewajiban ajaran agama maupun donasi dan charity berdasar pada kemurahhatian penting menjadi gerakan masif di kalangan masyarakat. Sehingga masyarakat miskin dan yang rentan miskin tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup dan survive di tengah deraan dan himpitan ekonomi kian berat dan dalam sebagai dampak Covid 19 sementara kemampuan anggaran pemerintah terbatas.
Disparitas dan Kriminalitas
Salah satu dampak Covid 19 dapat dilihat angka gini rasio dan kemskinan. Gini rasio menginformasikan kesenjangan penduduk kaya dengan miskin. Gini rasio Indonesia untuk priode Maret 2020 berada diangka 0,381 dan naik 0,384 di Maret 2021. Begitu juga pada angka kemiskinan. Di bulan September 2019 tercatat 24,79 juta penduduk miskin dan naik pada September 2020 mencapai 27,55 juta (naik 2,76 juta). Data untuk Sumatera Barat menunjukkan Maret tahun 2020 angka gini rasio 0,305 dan naik 0,306 di Maret 2021. Kesenjangan ini terjadi baik di kota maupun desa dan kenaikan gini rasio terjadi di kota terutama pada bulan yang sama, Maret dan di tahun berbeda ( Berita resmi Statistik, Maret 2021). Meski masih tergolong rendah, gini rasio nyata menunjukkan kenaikan year to year dan kenaikan tersebut semakin mendekati level moderate. Hal yang sama juga terjadi pada kemiskinan yang naik signifikan.
Kesenjangan dan kemiskinan ini merupakan kondisi yang sangat tidak diinginkan dan dihindari karena dampak negatif turunan yang akan muncul, seperti tindakan kriminal. Banyak riset yang telah mengungkap korelasi kesenjangan dan kemiskinan dengan tingkat kriminalitas dalam masyarakat. Kriminilas di masyarakat dimotivasi oleh faktor ekonomi. Beragam bentuk kesenjangan (kepemilikan aset, pendapatan, pengeluaran, dan upah) memiliki hubungan positif dengan angka kriminalitas (Kelly,2020). Selain itu, faktor psikologis juga lahir sebagai efek dari kesenjangan tersebut berkontribusi pada kriminalitas. Masyarakat miskin dan rentan miskin yang hilang pekerjaan atau bekerja namun upah yang diterima memiliki ril income yang rendah cenderung memiliki feel frustation dalam memandang lingkungan sosial. Akumulasi motivasi ekonomi dan kondisi psikolgis ini mendorong tindakan kriminal. Lebih dari itu, bahkan tindakan kriminal dijadikan profesi dan sumber income serta cara atau strategi bertahan hidup dalam kondisi ekonomi sulit.
Kuatan Trust Kelembagaan
Polarisasi dalam bentuk kesenjangan ekonomi di masyarakat tidak lah soal sederhana. Kesenjangan dapat menjadi embrio beragam patologi sosial termasuk kriminalitas. Untuk itu penting memperkecil kesenjangan (disparitas) dengan menfungsikan gerakan sosial dalam bentuk perilaku memberi (giving behavior) , punya empati dan kemurahatian dalam memberi donasi atau charity. Setiap agama mendorong ummatnya untuk memberi baik pemberian wajib atau sukarela. Islam memiliki zakat, infak, shodakah dan wakaf sedangkan kristen memiliki Yahudi dan Kristiani memiliki ma’ser keserfim ( pemberian 10 persen dari income kepada institusi agama atau sebagai charity) .
Disparitas akan dapat diperkecil dengan masifnya gerakan sosial ini dalam masyarakat. Gerakan sosial dapat menjadi kanal untuk mengalirkan kekayaan (tranfer of wealth) kepada masyarakat miskin atau yang membutuhkan bantuan untuk kesejahteraan mereka.
Perilaku memberi donasi dan charity dapat bereskalasi secara besar dan memiliki dampak sistemik positif dengan jangkauan luas serta bekelanjutan jika kelola dengan baik. Dewasa ini, perilaku memberi hanya menjadi perilaku individual yang bersifat tradisional dan parsial. Bahkan cenderung primodial. Seseorang dalam memberi bantuan donasi cenderung memilih yang terdekat baik hubungan kekeluarga dan atau hubungan emosional tanpa mempertimbangan aspek kepantasan/kepatutan menerima dan kebutuhan. Implikasinya, donasi dan charity terakumulasi pada seseorang.
Untuk itu, diperlukkan pengelolalan secara kelembagaan agar dampak positif sistemik dapat dirasakan secara cepat dan berkelanjutan serta lebih dari itu adalah tepat sasaran. Kajian terkait giving behavior menjelaskan bahwa banyak. faktor yang mendorong orang memberi donasi. Namun yang menarik dari temuan itu agama (religiusitas) tidak signifikan membentuk dan kuat mendorong serta mengarahkan perilaku giving. Variabel yang dikuat dan signifikan mendorong giving behavior adalah trust kelembagaan. Trust lembaga pengelola donasi apa pun bentuk kelembagaannya menjadi penting bagi masyarakat sebagai pertimbangan ketika memutuskan pemberikan donasi/charity. Trust kelembagaan yang diharapkan masyarakat berupa transparansi dan keterbukaan laporan keuangan serta kemudahan akses informasi. Selama trust kelembagaan yang diharapkan masyarakat tidak terbangun dengan baik maka perilaku memberi masih akan bersifat tradisional dan parsial serta cenderung primodial. Akhirnya, dampak sistemik nan positif dan berkelanjutan masih jauh dari kenyataan.
Akhirul kalam, turbulensi kehidupan sebagai akibat penyebaran Virus Covid 19 dan ditambah lagi kemunculan varian baru tidak diketahui di mana ujung dan kapan berhentinya. Giving behavior penting dikelola. Selain diharapkan dapat mendukung program bantuan yang telah dan sedang dikucurkan pemerintah, donasi/charity juga dapat dijadikan alternatif di tengah keterbatasan pundi-pundi pemerintah pusat dan daerah. Segala variabel yang dapat menguatkan giving behavior mesti kelola dengan baik.Semoga!