Menyoal Biaya Akreditasi di Perguruan Tinggi

Menyoal Biaya Akreditasi di Perguruan Tinggi

Oleh: Asyari
Wakil Rektor 1 IAIN Bukittinggi

          Akreditasi perguruan  tinggi dan program studi   memasuki era baru. 7 standar yang menjadi acuan penilaian kelayakan dan kualitas  perguruan tinggi (PT)  dan program studi (PS) oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi  (BAN-PT) sudah berakhir dan migrasi ke 9 kriteria 4.0  yang  berorientasi pada output dan outcome

          Kini BAN-PT tidak lagi sebagai  lembaga tunggal  yang   melakukan  penilaian akreditasi. Ada 7  Lembaga Akreditasi Mandiri  (LAM) menerima limpahan  kewenangan BAN-PT dalam mengakreditasi  PS menurut rumpun  ilmu sesuai amanat UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No.57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.

          LAM  diharapkan semakin memperkuat tata kelola penilaian akreditasi  lebih profesional dan  akuntabel. Namun di sisi lain, kehadiran LAM memberikan implikasi  biaya akreditasi  full ditanggung PT.

          Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi  melalui Surat No.87935/MPK.A/AG/01.00/2021, tertanggal 6 Desember 2021 telah  menyetujui besaran biaya  akreditasi program studi.  Misalnya, setiap program studi bidang pendidikan yang akan diakreditasi  LAM Pendidikan (LAMDIK)  dan bidang Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi  di LAMEMBA  dibandrol sebesar Rp. 53 juta. Jika PT banding akan dikenai biaya Rp. 29,7 juta. Total biaya akreditasi  1 program studi Rp.81,7 juta.  Tarif ini diberlakukan sama setiap PT. Padahal PT memiliki kemampuan financial  yang beragam.

          Berdasarkan biaya di atas, jika diasumsikan satu  PT memiliki 10 program studi maka biaya aggregat Rp. 810 juta.  Ada  lebih kurang 9.575 program studi dalam cakupan  LAMDIK dan LAMEMBA (Statistik PDDikti, 1 April 2022).  Maka jumlah uang yang akan mengalir ke pundi-pundi LAM  Rp. 810 juta X 9.575 sebesar Rp.7.755.750.000.000.

Alhasil,   akreditasi menjadi unit cost baru dalam biaya operasional PT  dan tentu akan membenani Uang Kuliah Tunggal (UKT) ke penerima jasa layanan pendidikan

Hakekat Akreditasi

          Akreditasi  PT ataupun PS adalah kewajiban sesuai amar Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 60 dan 61), Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen (Pasal 47),  Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Pasal 86,87, dan 88) dan  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.

          Hasil akreditasi  dijadikan syarat bagi alumni atau luliusan untuk akses ke dunia kerja. Bagi pengambil kebijakan, akreditasi djadikan pertimbangan dan afirmasi dalam menditribusikan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP). Proposal-proposal proyek pengembangan dikaitkan dengan jumlah perolehan akreditasi A program studi di perguruan tinggi. Peringkat dan status akreditasi yang rendah menjadi contraint bagi lulusan/alumni berkiprah di dunia kerja.

          Oleh karenanya, setiap PT harus memastikan bahwa proses jaminan mutu mulai perencanaan, penetapan, pelaksanaan, dan evaluasi berjalan baik serta berkelanjutan. Setiap  nafas layanan pendidikan harus in-line dan  tidak boleh menyimpang dari Standar Nasional Pendidikan.

Minim Akreditasi    

          Data sampai per- Maret 2021 jumlah PT di Indonesia yang terakreditasi sebanyak 2.712  dari  4.537 PT  dan yang berlum terakredtasi ada 1.825 PT. Program studi ada 6.893 yang belum terakredtasi dari 23.646 program studi.  Sebaran peringkat dan status  program studi  masih minim A  (4.529 atau 15,20%) begitu pula PT yang meraih A  sebanyak 99  (3,65%) (PDDIKTI, Maret 2021).

          Secara eksplisit,  data di atas menjelaskan akreditasi menjadi masalah krusial di PT. Penting dilakukan saat ini adalah  kebijakan yang pro- peningkatan peringkat dan status akreditasi di perguruan tinggi agar hak  pendidikan masyarakat terjamin kualitas dan standarnya.    Kebijakan pembiayaan akreditasi tak lain akan menjadikan PT memiliki beban berat seggulung batu.

Alternatif Skema Pembiayaan;

          PT memang idak ada pilihan lain kecuali harus akreditasi dan siap  dengan segala kewajiban biayanya. Sesuai regulasi, PT yang tidak terakreditasi tidak boleh mengeluarkan ijazah dan dikenai sanksi pidana jika tetap mengeluarkan lulusan.   Di pihak lain untuk terakredasi, PT harus menyiapkan kebutuhan sesuai tuntutan  9 krtiteria yang terdiri; 1) Visi, Misi, Tujuan, dan Strategi, 2) Tata Pamong, Tata Kelola, dan Kerjasama, 3) Mahasiswa, 4) Sumber Daya Manusia, 5) Keuangan, Sarana, dan Prasarana, 6) Pendidikan, 7) Penelitian, 8) Pengabdian kepada Masyarakat, dan 9) Luaran dan Capaian Tridharma.

          Pekerjaan untuk memenuhi tuntutan akreditasi tidak lah mudah dan  murah. Infrastruktur PT baik soft maupun hard harus disiapkan dan itu membutuhkan cost yang tidak sedikit.  

          Kebijakan besaran biaya  akreditasi program studi perlu dibuat lebih adil dan proporsional. Status PT bervariasi dan itu memiliki konsekuensi terhadap kemampuan keuangan. PT yang menyandang status PTN-BH dan PTN-BLU memiliki otonomi lebih luas dalam mengelola keuangan dan kemampuan dalam income generating dari sumber daya yang dimiliki. Berbeda dengan PTN Satker sumber pendapatan lebih bergantung pada jumlah mahasiswa. 

          Sangat arif terhadap PTN-BH dan BLU tarif akreditasi dikenakan full karena kemampuan financial relatif baik dan memiliki tata tamong dan tata kelola sudah established.    Berbeda dengan PTN-Satker yang memiliki  otonomi dan diversifikasi income  sangat terbatas. Mereka perlu diberikan subsidi tarif karena keterbatasan yang dimiliki.

          Bagi perguruan tinggi swasta (PTS) perlu  dibuat klusterisasi dalam pembebanan biaya. Banyak juga PTS yang  memiliki unit bisnis dan mampu meng-cover biaya akreditasi. Kelompok PTS ini dikenai  full tarif.

          Afirmasi perlu diberikan  ke  PTS yang small  dan memilki jumlah mahasiswa terbatas.  PTS kategori ini diberikan keringan tarif atau bahkan tarif Rp.0.         

          Pembiayaan akreditasi bisa  tidak berimplikasi pada biaya tinggi pendidikan jika  besarannya dibebankan  secara adil dan proporsional. Jangan  sampai anak bangsa gagal mengapai cita-cita  karena  biaya pendidikan yang mahal. Semoga

Postingan yang sama : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/03/menyoal-biaya-akreditasi-di-perguruan-tinggi?utm_source=kompasid&utm_medium=whatsapp_shared&utm_content=sosmed&utm_campaign=sharinglink

Aksesibilitas