Mengungkit Literasi Ekonomi Syariah


Oleh: Asyari

Wakil Rektor 1 IAIN Bukittinggi


                Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 6 Juli 2021 telah merilis Indeks Literasi Keuangan Syariah sebesar 8,93 persen dan Indeks Literasi Ekonomi Syariah Nasional sebesar 16,2 persen. Angka ini menunjukkan literasi ekonomi syariah masih rendah meski indonesia dikenal sebagai negara pemilik muslim terbanyak dan juga mengisyaratkan masih panjang jalan yang mesti di tempuh untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai arus utama perekonomian serta menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi dan keuangan syariah di Asia. Untuk itu menaikan literasi menjadi dibutuhkan. Perlu pilihan model yang tepat dan sesuai dengan perilaku dan karakteristik Muslim Indonesia dalam mengamalkan keyakinannya termasuk aspek kehidupan ekonomi.
Tulisan ini mencoba menawarkan model yang dapat dipakai untuk mengungkit indeks literasi agar terciptanya well literate. Dengan well literate diharapkan akselerasi ekonomi syariah dan keuangan syariah semakin cepat dan pertumbuhannya semakin baik.

Literasi dan Prestasi
Bila dirunut sejarah ekonomi dan keuangan syariah telah dimulai di tahun 1992 (sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia). Ini berarti ekonomi dan keuangan syariah telah berusia 29 tahun. Dalam durasi waktu yang relatif panjang tersebut Indeks Literasi Keuangan Syariah dan Literasi Ekonomi Syariah Nasional indeks menunjukkan angka yang masih rendah dan bergerak sangat lambat..
Selain itu, dalam durasi 29 tahun itu pula telah terjadi berbagai perkembangan pada jasa keuangan syariah yang terdiri dari 3 sub-sektor; perbankan syariah, industri keuangan non -bank syariah, dan pasar modal syariah. Dalam 5 tahun terakhir (2016-2020) terjadi trend kenaikan jumlah aset. Tercatat per- Desember 2020, total aset keuangan syariah di Indonesia (tidak termasuk saham syariah) bertenger di angka Rp. 1.801,40 triliun. Angka ini naik 22,71%, dari tahun 2019 sebesar Rp.1,468,07 triliun .
Khusus perbankan syariah total aset, pembiayaan dan DPK memiliki kinerja yang cukup baik dibila dibandingkan dengan perbankan konvesional. Aset perbankan syariah berjumlah Rp. 608,90 triliun dengan pertumbuhan 13,11% yoy dibanding konvensional hanya 6,74%. Jumlah pembiayaan di perbankan syariah tumbuh melambat 8,08% dan di perbankan konvesional sebesar -4,20%. Untuk DPK di perbankan syariah juga tumbuh sebesar 11,98% sementara di konvensional 10,93% (yoy) (Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia 2020).
Dalam waktu 29 tahun tersebut Lembaga Keuangan Syariah sampai sekarang telah menunjukkan berbagai perkembangan yang positif. Bahkan prestasi dan kinerja yang baik tersebut ditorehkan di masa Pandemic Covid- 19. Perbankan syariah semakin mengokohkan resiliensi (ketahanan) yang baik di masa sulit bagi lembaga keuangan di Pademic Covid 19. Sejatinya ini bukan hal baru. Tahun 1997-1998 di saat turbulensi dan hantaman krisis ekonomi, Bank Muamalat Indonesia menjadi bank yang tetap kuat dan tetap beroperasi dengan relatif stabil.

Dakwah salah sasaran
Meski performa perbankan syariah selalu menujukkan tren positif bahkan dari beberapa indikator melampaui kinerja konvensional namun itu belumlah mencerminkan kondisi capaian peforma yang maksimal. Artinya, peforma nan baik dan positif itu dicapai saat pengetahuan dan awarness masyarakat tentang nilai-nilai ekonomi syariah, produk lembaga keuangan syariah, produk halal dan tata kelola keuangan secara syariah serta sikap dan attitude masa depan masih rendah. Tentu diharapkan kinerja ekonomi dan keuangan syariah akan lebih maksimal jika masyarakat memiliki well literate. Literasi. yang baik diharapkan dapat membentuk dan mendorong masyarakat mengunakan jasa-jasa keuangan syariah dan melakukan interaksi ekonomi dengan lembaga keuangan syariah.
Selama ini tidak ada model literasi yang dapat dijadikan acuan. Dakwah sebagai kanal literasi dewasaini jamak berlangsung secara trandisional nan cenderung hitam-putih. Dakwah ekonomi syariah yang berlangsung di masjid/mushalla dan dikelompok pengajian disampaikan muballigh/dai belum memiliki fokus materi yang jelas. Porsi dakwah ekonomi syariah lebih didominasi oleh penyebarluasan ketentuan-ketentuan hukum halal dan haram riba dan fatwa-fatwa dari Ulama dan Organisasi Islam baik nasional maupun internasional tentang keharaman bunga bank. Alih-alih mengharapkan pemahaman jamaah yang baik tentang ekonomi syariah cara dakwah seperti ini malah menciptakan pandangan, sikap dan perilaku yang antipati kepada bunga bank. Bahkan tak jarang pula mendeskriditkan pelaku ekonomi yang menjalankan bisnis dengan modal dari sistem bunga bank. Dalam konteks ini, dakwah hanya menjadi media propaganda. Dakwah belum dapat berfungsi degan baik sebagai media edukasi jamaah tentang ekonomi syariah.

Adopsi Model Qurani
Keberhasilan literasi ditentukan oleh pilihan model dan gaya komunikasi dalam penyampaian ke kelompok sasaran. Pemahaman yang baik terhadap kelompok sasaran amat dibutuhkan untuk menentukan model komunikasi yang dipakai.
Masyarakat Arab yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang telah lama mempraktekkan sistem riba dalam aktivitas perdagangan mereka. Kehadiran Islam yang membawa ajaran ekonomi sistem jual-beli dan bagi-hasil berbeda bak siang dan malam dengan sistem ribawi. Masyarakat Arab diperkenalkan dengan jual beli dan bagi-hasil sebagai sistem ekonomi yang dihalalkan melalui pengenalan sisi positif sistem ekonomi jualbeli dan bagi hasil serta sisi negatif praktek ribawi yang telah diwarisi secara turun-temurun dan telah mendarahdaging. Masyarakat Arab kemudian juga diperkenalkan keutamaan sistem jual-beli dan bagi-hasil dalam aktivitas ekonomi mereka. Dijelaskan juga sisi negatif yang dikandung sistem ribawi adalah sebuah kerusakan dan malapetaka dalam dan bagi sistem kehidupan. Sekalipun terdapat keuntungan ekonomi yang besar pada sistem ekonomi ribawi namun itu hanya berlaku di jangka pendek (short-run). Sistem ribawi menjadikan kehidupan ekonomi berlansung secara eksploitatif dan sarat ketidakadilan. Isyarat keharaman sistem ribawi dan pengharaman secara tegas disampaikan pada bagian akhir proses pentahapan larangan riba (Surat ar-Rum ayat 39 dan QS Nisa’ 160-161).
Model qurani di atas patut dipertimbangkan dan diadopsi sebagai model dalam upaya mengungkit literasi ekonomi dan keuangan syariah. Lebih mengedepankan distingsi dan lebih menyentuh aspek kognitif ketimbang bertumpu pada emosional religius menjadi karakteristik dalam menyampaikan informasi ekonomi syariah ke masyarakat. Distingsi sistem ekonomi syariah baik secara kuantitatif maupun kualitas harus masif diperkenalkan sebagai bagian wajah rahmatal lil alamin dari ajaran Islam. Dampak positif sistem ekonomi syariah harus dapat dinarasikan secara kuantitatif, logis dan rasional. Begitu pula dampak negatif sistem riba. Diharapkan model literasi ini dapat menimbulkan pemahaman yang “membathin” dan kesadaran intrinsik yang mendalam serta. akhirnya. menjadi perilaku nyata (actual behavior).
Untuk itu, elaborasi sisi positif dan negatif baik secara kuantitatif maupun kualitaif yang logis dan rasional dari ajaran ekonomi dan keuangan syariah perlu dilakukan dan mendapat tempat dalam program sosialisasi dan peningkatan literasi. Model yang cenderung propaganda dan normatif halal-haram harus diakhiri. Semoga

Aksesibilitas