Kualitas Publikasi, Logika Produksi, dan Perpustakaan

Atmosfir akademik yang kondusif di kampus, ketersediaan koleksi sumber-sumber informasi seperti buku-buku menjadi input yang mendukung bagi dosen untuk menghasilkan karya ilmiah berkualitas dan berdaya saing.

Asyari, Wakil Rektor I Universitas Islam Negeri (UIN) Bukittinggi

Akhir-akhir ini dunia pendidikan tinggi kembali dihujani sorotan. Terbaru adalah hasil investigasi harian Kompas soal profesor sebagai maqam akademik tertinggi diraih dan dicapai dengan cara-cara pragmatis yang menabrak nilai kejujuran dan integritas, yang seyogyanya dijunjung tinggi. Hal ini menjadi indikasi rendahnya kemampuan dosen dalam memproduksi karya akademik nan berdaya saing dan dipublikasi pada jurnal internasional bereputasi.

Dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen (PO PAK) Tahun 2019 beserta suplemennya dinyatakan, promosi ke jabatan profesor selain memenuhi KUM (angka kredit) yang ditetapkan juga harus memiliki publikasi yang berkualitas, lolos dari syarat-syarat yang ketat, clear dan clean, serta nir-pelanggaran etika dan integritas akademik. Alhasil, publikasi berkualitas menjadi hal yang absolut dan mutlak bagi dosen.

Kualitas papan tengah

Kualitas publikasi dosen kita harus diakui masih sangat butuh atensi dan upaya perbaikan serta peningkatan. Tanpa menegasikan ada beberapa publikasi yang sudah berkualitas, secara aggregate publikasi dosen masih berada di papan tengah ke bawah. Berdasarkan data di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) Februari 2023, jumlah dosen di Indonesia sebanyak 303.205 orang yang tersebar di 4.537 perguruan tinggi dan 41.316 program studi.

Jumlah dosen tersebut yang tercatat sebagai penulis atau author di Sinta (Science and Technology Index) Kemendikbudristek sebanyak 260.378 orang (85,87 persen) dengan rincian academic grade; asisiten ahli sebanyak 71.050 orang (27,28 persen), lektor 77.680 orang (29,82 persen), lektor kepala 30.002 orang (11,52 persen), dan profesor 7.124 orang ( 2,73 persen), dan 74.411 orang (28,57 persen) tidak diketahui.

Dari jumlah dosen sebagai penulis atau author diperoleh informasi bahwa tulisan mereka dipublikasi di 8.049 jurnal dan di 1.333 publisher dengan level akreditasi Sinta (kualitas jurnal) yang bervariasi. Mulai dari Sinta paling tinggi, Sinta 1 berjumlah 131 (1,63 persen), di Sinta 2 berjumlah 887 (12,39 persen), Sinta 3 berjumlah 1.493 (18,55 persen), Sinta 4 berjumlah 2.779 (34,53 persen), Sinta 5 berjumlah 2.311 (28,71 persen) dan Sinta 6 berjumlah 332 (4,12 persen), dan terakhir tidak terakreditasi sebanyak 6 (0,07 persen).

Data kuantitatif publikasi di atas mengungkap bahwa mayoritas publikasi dosen kita pada jurnal-jurnal dengan kualitas Sinta 4 ke bawah. Mirisnya, sangat sedikit yang mampu bertengger di level Sinta 1, yaitu hanya sebesar 1,63 persen.

“Input-out put” produksi akademik

Dosen perlu dilecut adrenalin akademiknya mampu memproduksi karya akademik yang berdaya saing dan bereputasi. Publikasi sebagai bentuk produksi akademik dosen bukanlah hasil dari proses singkat, mudah, dan murah apalagi instan. Dibutuhkan pra-kondisi atau input (I) baik soft maupun hard untuk dapat memproduksi karya akademik yang berkualitas.

Suasana dan atmosfir akademik yang kondusif di kampus menjadi soft input. Kampus yang riuh dengan soal-soal politik praktis menjadi kondisi yang tidak kondusif dan tidak produktif bagi lahirnya publikasi dosen yang didiseminasi secara luas melalui jurnal-jurnal dengan reputasi dan impact factor yang tinggi.

Dengan input yang baik dan banyak serta berkualitas diharapkan dosen dapat memproduksi out put berupa karya akademik/ilmiah yang berkualitas dipublikasi di jurnal internasional yang bereputasi.

Ketersediaan koleksi sumber-sumber informasi, seperti buku-buku, ensiklopedia, bibliografi, katalog, indeks, direktori, handbook, dan e-book yang mutakhir, serta langganan e-journal nomor wahid dan top di bidangnya merupakan hard input. Sumber-sumber informasi tersebut mesti free of charge dan secara reguler menjadi kudapan ilmiah bagi dosen setiap hari.

Dengan input yang baik dan banyak serta berkualitas diharapkan dosen dapat memproduksi out put (O) berupa karya akademik/ilmiah yang berkualitas dipublikasi di jurnal internasional yang bereputasi dan memiliki citasi yang banyak. Input menjadi variabel penting dan penentu bagi out put. Mustahil dosen dapat menghasilkan publikasi yang berkualitas tanpa input yang berkualitas pula.

Atensi ke perpustakaan

Secara institusional, unit yang memiliki peran dalam menyediakan input-input untuk produksi akademik ini adalah perpustakaan. Bagi perguruan tinggi, perpustakaan memiliki peran vital dalam upaya memproduksi publikasi dosen. Pustaka menjadi ruang akses bagi dosen ke sumber-sumber ilmiah yang update dan mutakhir. Perpustakaan mesti menjadi rumah tempat pulang dosen setelah mengajar dan meneliti. Kondusifitas perpustakaan mesti jadi perhatian.

Idealnya gedung perpustakaan menjadi etalase bagi perguruan tinggi. Namun sayangnya di banyak kampus, kondisi ini masih jauh panggang dari api. Perpustakaan ditempatkan dipojok dan bahkan di bagian belakang kampus. Tak jarang pula, pustaka dijadikan tempat buangan bagi lawan “politik”, pengasingan bagi orang-orang yang vokal ke pimpinan dan hukuman bagi staf atau karyawan yang bermasalah di kampus.

Perguruan tinggi hanya berlomba-lomba membuat dan menata gedung rektorat dan dekanat dengan sangat megah dan iconic. Tiap tahun tampilan fisik bangunan (tangible) disoleki. Gedung pustaka hanya bak gedung nestapa.

Baca juga: Dukungan Perpustakaan untuk Sarjana Independen

Ke depan atensi dan afirmasi kebijakan perlu diberikan kepada perpustakaan. Bagi regulator, kebijakan kewajiban akreditasi perpustakaan harus sama kuatnya dengan akreditasi program studi. Peraturan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2022 tentang instrument akreditasi belum menyebut secara kuat kewajiban tersebut atau hanya bersifat opsional. Implikasinya, tidak adanya kepastian dan keberlanjutan jaminan mutu bagi perpustakaan. Kucuran anggaran untuk kelengkapan hard input yang berkualitas mesti juga jadi perhatian.

Perguruan tinggi mesti mengelola perpustakaan dengan standar-standar yang baik. Upaya diversifikasi koleksi, peningkatan kualitas pelayanan dan tenaga perpustakaan harus dilihat sama pentingnya dengan peningkatan tata kelola kegiatan proses belajar mengajar (PBM), penelitian dan pengabdian masyarakat.

Kualitas perpustakaan harus terus ditingkatkan agar tercipta suply input yang berkualitas untuk memproduksi karya akademik yang berkualitas pula. Semoga.

Aksesibilitas