Dr. Asyari, S.Ag., M.Si
*Wakil Rektor IAIN Bukittinggi
Dinamika polemik konversi Bank Nagari menjadi Bank Nagari Syariah kian ramai. Satu diantara isu kuat yang selalu disampaikan adalah apakah setelah jadi syariah, sistem ekonomi syariah betul-betul dilaksanakan atau dapat dilaksanakan secara totaliitas (kaffah)? Atau hanya labelnya saja syariah?
Polemik dengan isu ini bukan hal baru. Jauh sebelumnya, tepatnya ketika berdirinya bank syariah pertama – Bank Muamalat 1992, isu sudah muncul. Kini perdebatan itu muncul dengan “irama dan lirik baru“ namun “nyanyi” sama.
Mempertanyakan dan memperdebatkan apakah sistem ekonomi syariah betul-betul dilaksanakan atau dapat dilaksanakan secara totalitas (kaffah)? Atau hanya label nya saja syariah?
Sama hal dengan mempertanyakan apakah akad-akad pada kegiatan lembaga keuangan syariah baik pada penghimpunan dan penyaluran dana dapat diterapkan sesuai syariah secara kaffah?
Terkait ini dan memperhatikan praktek dan pengalaman yang ada maka akan terpolarisasi dua kelompok; pertama, menyatakan akad-akad yang diimplementasikan di bank syariah masih sangat jauh dari nilai-nilai syariah. Penerapan akad–akad syariah hanya pada nama akad saja belum bentul-bentul menerapakan sesuai ketentuan syariah. Bahkan ada yang berpendapat ekstrim, baju syariah tapi orang dan perangai konvensional.
Kedua, pihak yang berpendapat yang diterapkan di lembaga keuangan syariah merupakan upaya menuju yang kaffah. Memang belum murni sesuai syariah tapi secara bertahap berjalan menuju syariah.
Kenapa menuju kaffah? Pertama, hampir semua akad-akad yang ada di lembaga keuangan syariah merupakan akad yang berkaitan dengan hubungan langsung person to person (perorangan). Seperti akad mudharabah, pemilik modal (shahib al-maal) dan pekerja (‘amil), dan akad murabahah penjual dan pembeli.
Ketika di lembaga keuangan telah terjadi penambahan pelaku akad, yaitu bank sebagai intermediator. Dengan demikian hubungan langsung person to person tidak dapat dipertahankan secara murni. Inilah tentu memiliki potensi problem syariah dalam implementasi akad-akad di bank syariah.
Kedua, dari segi sejarah dan sosial budaya, sebagian akad merupakan produk budaya yang lahir dari perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Kemudian diformulasikan dan diberi filterisasi nilai-nilai Islam. Para ulama telah berupaya melakukan ijtihad, memahami, mengkaji dan mengkontrusi akad-akad tersebut melalui isyarat al-nash (Alquran) dan petunjuk hadist.
Faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang melingkari kehidupan ulama waktu itu tentu merupakan variabel yang inheren yang tidak dapat dipisahkan dan sedikit banyaknya mempengaruhi hasil ijtihad para ulama. Artinya, akad-akad muamalat tersebut merupakan produk ijtihad ulama merespon sosial masyarakat di era ulama mujtahid hidup.
Dengan demikian, penerapan akad-akad sebagai hasil ijtihad ulama masa lalu di tengah perkembangan dan kemajuan kehidupan masyarakat yang kian pesat dengan segala dinamikanya. Termasuk kehidupan dalam dunia perbankan tentu sangatlah logis jika menimbulkan beberapa masalah terutama masalah syariahnya yang harus senantiasa di kaji dan didiskusikan.
Ketiga, usia perbankan syariah di Indonesia dan kemampuan dana masih kecil dan terbatas menjadi constraint dalam berusaha secara syariah. Keempat, SDM yang memiliki background pendidikan ekonomi syariah masih minim.
Konsekuensinya, pekerja di bank syariah dominasi keilmuan syariah didapat dari pelatihan, kursus dan pendidikan singkat. Keterbatasan pengetahuan syariah menjadi potensi muncul kesalahan dan penyimpangan syariah dari “oknum” dalam penerapan akad-akad syariah di bank syariah.
Untuk menjawab pertanyaan, apakah sistem ekonomi syariah betul-betul dilaksanakan atau dapat dilaksanakan secara totaliitas (kaffah)? Atau hanya label nya saja syariah?. Dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dan holistik terhadap ekonomi syariah secara umum dan akad-akad syariah secara khusus. Penting untuk dipahami bahwa apa. yang belum dapat diterapkan semuanya (total) bukanlah berarti kita tinggalkan semuanya. Semoga