Konversi Bank Nagari dan Dakwah Ekonomi
Oleh Asyari
Wakil Rektor I IAIN Bukittinggi
Riuh polemik konversi Bank Nagari ke Syariah semakin kuat. Lebih kurang 5 bulan ke depan sesuai tenggat waktu dari hasil RUPS 2019, Bank Nagari harus sudah konversi ke syariah. Mencermati polemik yang ada, paling tidak terpolarisasi ke ketiga kelompok; pertama, menerima dan mendukung penuh konversi ke syariah tanpa syarat. Kedua, mendukung namun harus disiapkan berbagai antisipasi terhadap penurunan bisnis yang akan terjadi sebagai bentuk penyesuaian dan dalam masa transisi bisnis sebagai konsekuensi logis dari konversi. Terakhir, tidak menerima dan mendukung. Alasannya, langkah konversi berarti “melipat” bank induk dan unit usaha syariah yang ada sekarang menjadi satu. Pilihan dan langkah ini dianggap menghilangkan kesempatan besar kita memiliki dua bank; konvensional dan syariah. . Tulisan berikut bukan hendak menambah riuh polemik tersebut namun ingin membentangkan fakta yang merupakan sisi lain yang nyaris terlupakan dan terpingirkan yaitu soal literasi ekonomi dan keuangan syariah di masyarakat. Fokus polemik banyak pihak lebih menyasar pada sisi kalkulasi plus-minus secara bisnis dari konversi. Sehingga rasional secara market lebih menonjol dibanding rasional secara syariah dan budaya. Alhasill, penurunan profit secara signikan setelah konversi adalah kondisi tidak menyenangkan dan pilihan tidak rasional secara ekonomi.
Literasi nan mencemaskan
Terlepas ada atau tidak konversi literasi adalah hal yang penting. Masyarakat yang memahami produk dan manfaatnya ekonomi dan keuangan syariah iharapkan memiliki kemampuan dan kemauan memanfaatkan produk-produk syariah sebagai solusi kebutuhan keuangan. Literasi ekonomi dan keuangan syariah menjadi syarat penting untuk memperluas dan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan peran serta masyarakat dalam penggunaan produk dan jasa keuangan syariah. Literasi yang baik diharapkan mampu mengubah dan mengarahkan perilaku masyarakat mengelola aktivitas bisnis dan keuangan syariah secara cerdas.
Hasil survei BI tahun 2019 menunjukkan tingkat literasi masyarakat terhadap ekonomi dan perbankan syariah masih bertenger di angka 16,2 %. Artinya setiap 100 penduduk, hanya 16 orang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang ekonomi dan perbankan syariah. Untuk Sumatera Barat berdasarkan data yang dirilis Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) tahun 2020, Indeks Literasi Keuangan dan Ekonomi Syariah di Sumatera Barat masih rendah. Indeks Literasi Keuangan Syariah tahun 2016 (11,6%) dan Tahun 2019 (17,98%) serta Literasi Ekonomi Syariah 14,3%. Sebagai bandingan, di Pulau Jawa, seperti Jawa Barat, Literasi Keuangan Syariah tahun 2016 (4,7%) naik di tahun 2019 (18,06%) serta Literasi Ekonomi Syariah tahun 2019 (16,9%). Di daerah timur, NTB tahun 2016 Literasi Keuangan Syariah 5,1% naik pada 2019 sebasar 22% serta Literasi Ekonomi Syariah, 18,4%.
Data di atas ironis sekaligus mencemaskan. Ironis karena di negara yang mayoritas pendudukan muslim dan memiliki hubungan sejarah yang panjang dan mendalam dengan Islam serta yang selalu dengan bangga mendeklarasikan bahwa ajaran ekonomi syariah merupakan bagian inhern dari nilai-nilai kultural ternyata literasi ekonomi dan keuangan syariahnya rendah/less literate. Mencemaskan karena fakta ini akan menjadi faktor yang melemahkan dan melambatkan pertumbuhan ekonomi syariah. Bagaimana nasib ekonomi dan keuangan syariah di ranah bundo kanduang yang kuat mempromosikan ABS-SBK ke depan? Dikuartikan ABS-SBK hanya kuat di ruang promosi ke publik namun lemah dalam implementasi.
Dakwah kanal kuatkan literasi
Upaya menguatkan literasi menjadi pilihan mendesak yang harus dilakukan. Berbagai kanal sangat potesial banyak dimiliki dan dapat digunakan secara masif. Diantaranya kanal itu adalah dakwah. Dakwah menjadi kanal penting untuk mendiseminasikan sisi ajaran terkait ekonomi (muamalah) ke masyarakt. Harus diakui, dakwah dewasa ini lebih dimonopoli oleh penyampaian sisi ajaran Islam dari aspek ibadah, akhlak dan tauhid serta kehiduoan di akhirat. Materi dakwah ekonomi masih sunyi dan kurang mendapat tempat di pengajian atau khutbah di masjid.
Menurut penulis, kanal-kanal potensial untuk naikkan literasi sangat banyak dimiliki oleh Sumatera Barat. Data BPS 2019 menginformasikan jumlah masjid di Sumbar sebanyak 5.142 dan mushalla 2.661. Lembaga keagamaan 554 dan organisasi keagamaaan sebanyak 30 (Data Kemenag Sumbar Tahun 2016). Semua kanal itu mesti dikapitalisasi untuk dakwah ekonomi. Jika diasumsi 50% saja dari jumlah masjid artinya ada 2.500 masjid setiap jumat mengusung tema khutbah ekonomi dan keuangan syariah dihadapan ribuan jamaah. Jumlah kanal potensial lainnya yang belum dikalkusikan adalah jumlah lembaga pendidikan formal dan informal keagamaan mulai dari MDTA sampai Perguruan Tinggi Keagamaan di Sumbar. JIka semua kanal dapat diproduktifkan dengan baik maka literasi ekonomi dan keuangan syariah diharapkan terdongkrak dan masyarakat akan well literate.
Membidik Jamaah Millenial
Berdasarkan hasil sensus penduduk 2020 ( Berita. Resmi Statistik 21 Januari 2021) jumlah penduduk Indonesia adalah 270,20 juta jiwa. Sebaran komposisinya :1,87%, Pre-boomer ( lahir sebelum 1945, sekarang berumur 75 tahun), 10,88%: Post-Gen Z (lahir tahun 2013 dengan umur 7 tahun), 27,94% : Gen Z ( lahir 1997-2012 dengan umur 9-23 tahun), 25,87%: Millenial (lahir 1981-1996 umur 24-39 tahun) dan 21,88%: Gen X (lahir 1965-1980, usia sekarang 40-55 tahun serta 11,56% : baby boomer (lahir 1946-1964, usia sekarang 56-74 tahun).
Kaum millenial merupakan komposisi yang dominan dan tidak dikecuali kondisi yang relatif sama terdapat dikomposisi jumlah penduduk di Sumatera Barat. Atensi dakwah mesti diarahkan ke kaum millenial ini sebagai kelompok dominan dan sekaligus adalah target market yang sangat potesial. Penting dipahami dengan baik karakteristik kaum atau jamaah milenial sebagai target market dakwah agar dapat secara maksimal digarap.
Dari berbagai penelitian diungkapkan bahwa kelompok milenial sangat akrab dengan teknologi, menyukai selfie, lebih memilih menghabiskan waktu demi mendapatkan pengalaman daripada sesuatu yang sifatnya material. Kalangan millennial lebih mobile-oriented dan mudah mengadopsi platform digital terbaru dalam kehidupan mereka lebih memilih sesuatu yang mudah dan fleksibel.
What’s the next
Kita boleh saja berbeda pandangan dan berpolemik terkait langkah konversi bank nagari ke syariah. Namun semua kita sepakat bahwa literasi ekonomi dan keuangan syariah yang masih rendah harus segera dinaikkan. Untuk itu menurut penulis ke depan dakwah ekonomi mesti lebih dimasifkan. Seluruh kanal dakwah harus diproduktif dengan baik dan terencana. Adopsi teknologi dan digitalisasi dakwah ekonomi mesti masif dilakukan. Para pemimpin harus menjadi role model dalam membumikan ekonomi dan keuangan syariah. Lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun informal mengambil peran dalam mendiseminasi ekonomi dan keuangan syariah. Rumah tangga sebagai unit terkecil namun memiliki peran penting sejak awal dapat menjadi “madrasah” bagi anak dalam mengenalkan ekonomi dan keuangan syariah.
The last but not least, dakwah ekonomi penting untuk mencapai well literate tentang ekonomi dan keuangan syariah. Bebagai kanal dakwah harus difungsionalkan. Dengan well literate diharapkan masyarakat menerima ekonomi dan keuangan syariah berdasarkan rasional syariah dan bukan rasioal market. Semoga!