IAIN Bukittinggi Menuju UIN : Mengambil Kembali “Permata yang Hilang”

SEJAK resmi menyandang status sebagai sebuah institut melalui SK Presiden RI No. 181 tahun 2014, kini Insititut Agama Islam Negeri  Bukittinggi (IAIN Bukitiinggi) tengah bergerak di landasan pacu menuju Universitas Islam Negeri (UIN). Gerakan itu dirasakan semakin lama semakin cepat dan diharapkan dapat berlari kencang hingga ketika tiba di ujung landasan, IAIN Bukittinggi segera take off dalam posisi sebagai UIN.

            Performansi IAIN Bukittinggi  dari waktu ke waktu menunjukkan kemajuan signifikan untuk sebuah perguruan Tinggi Islam khususnya di luar pula Jawa. Pembangunan infrastruktur terutama gedung perkuliahan dan fasilitas pendukung dilakukan sesuai standar mutu. Bahkan, pada tahun 2018 Kementerian Agama Republik Indonesia menobatkan IAIN Bukittinggi   sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) terbaik dalam kecepatan  dan  ketepatan  realisasi  pembangunan  infrastruktur  melalui  sokongan   Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). IAIN Bukittinggi juga termasuk lima besar terbaik dari seluruh PTKIN dalam  realisasi  pembangunan  infrastruktur  melalui sokongan SBSN  sejak lima tahun terakhir.

Di sisi lain,  sebagai sebuah perguruan tinggi yang berada dalam pusaran kompetisi “merebut hati masyarakat”, IAIN Bukittinggi sejak tahun 2018 berhasil menorehkan prestasi     dengan meraih peringkat kedua untuk ketegori  peminat terbanyak melalui jalur Seleksi Prestasi Akademik Nasional (SPAN) PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) untuk level IAIN se-Indonesia.  Bahkan pada 2019,   animo calon mahasiswa yang ingin menimba ilmu di IAIN Bukittinggi mencapai angka 31.963 peminat yang berasal dari jalur Seleksi Akademik dan Ujian Masuk PTKIN. Hingga penghunjung 2019, tercatat lebih dari 10 ribu mahasiswa yang menuntut ilmu di IAIN Bukittinggi.

Dengan 22 program studi pada strata satu, satu program studi untuk diploma tiga  dan lima program studi  untuk  strata  dua,    menempatkan    IAIN  Bukittinggi  sebagai  IAIN dengan jumlah peminat terbanyak  di Indonesia, mencapai 14.683 orang melalui jalur Seleksi Prestasi Akademik Nasional-Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri  pada tahun 2020. Bahkan, tiga program studi yang ada di IAIN Bukittinggi menjadi 10 besar program studi terfavorit IAIN se Indonesia pada jalur SPAP-PTKIN tahun 2020. Tingginya animo calon mahasiswa untuk belajar di kampus yang mengusung motto Religius, Profesional, dan Berbudaya ini tentu dipicu oleh beragam faktor, tak terkecuali   mutu IAIN Bukittinggi melalui  capaian akredetasi, fasilitas, pelayanan pendidikan, dan jumlah program studi.

 Kenapa menjadi UIN?

Sejak gagasan alih status IAIN menjadi UIN bergulir, pro dan kontra dikalangan pemerhati pendidikan di tanah air pun mengalir. Bagi mereka yang berdiri di garis kontra menginginkan agar IAIN  tetap  sebagai sebuah institut yang fokus merawat disiplin ilmu agama Islam an sich sehingga tidak mengurus ilmu diluar garapannya.  Bahkan, para penganut mazhab kontra ini mensinyalir jika perubahan IAIN menjadi UIN akan  memarginalkan posisi disiplin ilmu agama Islam. Apalagi khittah pendirian IAIN sejak awal adalah untuk mencetak para ulama.

Berbeda dengan pandangan yang kontra, pemikiran yang pro  transformasi IAIN menjadi UIN justru menepis kekhawatiran akan terabainya disiplin ilmu agama jika IAIN menjadi universitas. Bahkan,  selain tetap mempertahankan disiplin ilmu agama, status universitas akan membuka peluang yang lebih luas untuk kajian beragam disiplin ilmu.  Saya sendiri berada di gerbong pemikiran yang pro dengan alih status IAIN menjadi Universitas.

Aspek filosofis-pragmatis dan sosio-historis dapat dikedepankan sebagai  rasionalitas untuk transformasi IAIN menjadi UIN ditengah riuh rendah pro-kontra.  Secara filosofis-pragmatis, transformasi IAIN Bukittinggi menjadi UIN pada hakikatnya adalah transformasi ajaran Islam ke wilayah yang tidak hanya bercorak doktriner, namun secara aplikatif dapat menjadi model untuk mengkaji Islam dari berbagai perspektif. Disiplin ilmu yang selama ini diposisikan  berhadap-hadapan dengan agama Islam akan diredefinisi. Upaya mendefinisi ulang berbagai disiplin ilmu itu ditempuh dengan menggunakan paradigma integrasi ilmu (knowledge integration paradigm). Paradigma ini mengusung pandangan non-dikotomi sehingga tidak lagi menempatkan sains (acquired knowledge) dan wahyu (revealed knowledge) pada garis kontradiktif, namun bersifat dialogis, dan bahkan integratif-interkonektif.

Meskipun masih terdapat berbagai hambatan  dalam mengimplementasikan paradigma integrasi ilmu ini, namun dibutuhkan upaya berkelanjutan  untuk memperkuat dan menumbuhkembangkannya. Bahkan, paradigma integrasi ilmu ini menjadi  bingkai berfikir untuk mendesain kekhasan yang unik (distingtiveness) untuk disiplin ilmu yang dikembangkan di UIN. IAIN Bukittinggi sendiri mengukuhkan paradigma integrasi ilmu ini didalam visinya: Terdepan dalam Integrasi Ilmu pada 2025.

Selain itu, transformasi IAIN Bukittinggi menuju UIN  dapat dinilai sebagai salah satu  strategi untuk berkontribusi lebih besar dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.  Dunia pendidikan Indonesia umumnya, dan pendidikan Islam khususnya, tengah dihadapkan pada tantangan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang luar biasa. Dari kondisi  Angka Partisipasi Kasar (APK), Perguruan Tinggi diIndonesia  masih bertengger di angka 30 %. Artinya bahwa dari 21 juta usia   19 sampai 24 tahun (usia mahasiswa) baru dapat diserap sekitar 6 juta orang di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Angka tersebut masih di bawah Filipina dengan APK  35 %, Malaysia (40 %), dan Thailand (50 %). Selain menjadi tantangan, kondisi ini juga momentum  bagi IAIN Bukittinggi   untuk bertransformasi menjadi universitas  sehingga dapat    berkontribusi lebih besar terhadap pembangunan Indonesia.

Sisi pragmatis lainnya dibalik ide transformasi IAIN Bukittinggi menjadi UIN adalah untuk menyongsong era persaingan dan globalisasi dengan segala kompleksitasnya. Ditengah  persaingan bisnis pendidikan, setiap perguruan tinggi, tidak terkecuali IAIN Bukittinggi selain berjuang untuk tetap eksis dan terus mengembangkan diri, juga harus mampu memenuhi trend pasar pendidikan melalui penawaran program studi lintas disiplin ilmu yang lebih variatif dan distingtif. Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah mahasiswa akan menjadi ‘nafas’ bagi kelanjutan hidup sebuah perguruan tinggi.  Dalam teori sistem dinyatakan  bahwa pemenuhan tren pasar merupakan upaya untuk mengawal institusi pendidikan agar tetap berjalan menuju titik tujuan atau target secara sukses  (entropi positif). Sebaliknya, perguruan tinggi yang ditinggalkan peminat lambat laun akan menuju titik kepunahan dan hancur (entropi negatif). Karenanya,  status sebagai UIN akan membuka peluang hadirnya berbagai program studi baru yang dapat menjawab kebutuhan  pasar pendidikan dimaksud.

Akar sosio-historis yang kuat juga menjadi  basis rasionalitas untuk transformasi IAIN Bukittinggi menjadi UIN. Kehadiran IAIN Bukittinggi terpaut erat dengan kehadiran Perguruan Tinggi Islam di Sumatera Barat yang berawal dengan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Darul Hikmah (1953). Pada 1957, PTAI Darul Hikmah resmi menjadi Universitas Darul Hikmah (1957). Karena adanya pertikaian politik dalam negeri yang berujung pada perang saudara (baca: peristiwa PRRI) , operasional Universitas Darul Hikmah ini akhirnya terhenti.  Universitas Darul Hikmah tidak pernah lagi muncul  hingga tahun 1963 berdiri Fakultas Agama Islam Syar’iyyah (FAIS) di Bukittinggi. Pada 1966, FAIS ini kemudian berubah menjadi Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol (IB)  di Bukittinggi. Fakultas Syari’ah IAIN IB kampus Bukittinggi ini bertahan lebih dari 30 tahun. Seiring dengan kebijakan pemerintah, setiap Fakultas Syari’ah IAIN IB kampus Bukittinggi berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bukittinggi pada 1997. Pada 2014, STAIN Bukittinggi akhirnya naik status menjadi IAIN Bukittinggi.  Fakta sejarah ini menuturkan bahwa pada 1957 telah pernah ada sebuah Universitas Islam berdiri di Bukittinggi meski akhirnya tenggelam, dan muncul kembali dalam wujud yang lain seperti paparan kronologis di atas.

Beberapa Tantangan 

Disamping itu, tantangan yang dihadapi pada proses transformasi menjadi UIN adalah kesiapan dosen IAIN Bukittinggi dalam merealisasikan  epistemologi Islam yang menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh  epistemologi Barat. Epistemologi Islam ini yang akan menjadikan pengembangan keilmuan di UIN berbeda dengan yang dilakukan universitas yang bukan UIN. Epistemologi Islam menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam, sehingga ilmu bisa diperoleh dari wahyu maupun akal, dari hasil observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis. Dari perspektif manajemen strategis, selain pemenuhan persyaratan formal untuk menjadi sebuah UIN, IAIN Bukittinggi dituntut untuk mampu mengevaluasi sumber daya serta kemampuan institusi. IAIN Bukittinggi juga harus menentukan  aspek-aspek yang merupakan sumber keunggulan bersaing dengan perguruan tinggi lainnya (PTKIN dan Non-PTKIN).

Fakta bahwa  institusi Islam dan sarjana muslim pernah berjaya karena  tidak mengenal dikotomi ilmu dan   keterkaitan   IAIN Bukittinggi dengan  Universitas Islam Darul Hikmah yang pernah ada di Bukittinggi, maka transformasi IAIN Bukittinggi menjadi UIN tidak ubahnya bagaikan mengambil kembali permata yang hilang. Semoga “permata’ yang hilang itu   ditemukan kembali seiiring dengan kehadiran UIN di Bukittinggi.  Insha Allah. []

Aksesibilitas