Bukittinggi, Rabu 20 Mei 2020. Kemunculan Covid-19 yang akhir-akhir ini direspon dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) di Indonesia, suka tidak suka, berdampak bagi pelarangan aktivitas umat beragama di rumah ibadah dan ruang publik lainnya. Bagi sebagian kalangan, pelarangan tersebut dinilai sebagai pelanggaran hak kebebasan beragama–yang merupakan bagian integral dari hukum HAM. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apakah kebebasan beragama boleh dibatasi? Bagaimana hukum HAM internasional dan nasional mengatur hal tersebut? Bagaimana landasan filosofis kebebasan beragama dan batasan-batasannya? Bagaimana narasi agama (Islam) memandang pembatasan kebebasan beragama?
Untuk merespon diskursus seputar isu-isu di atas, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Bukittinggi kembali menyelenggarakan Webinar kedua pada Rabu, 20 Mei 2020 dengan tema “Kebebasan Beragama dalam Konteks Pembatasan Sosial Berskala Besar”. Acara ini menghadirkan narasumber Suhadi Cholil, Ph.D (Research Fellow di CMSS, The University of Western Australia), Dr. Ridha Ahida (Dosen Filsafat yang juga Rektor IAIN Bukittinggi), dan Dr. Nunu Burhanuddin (Dosen Pemikiran Islam yang sekaligus merupakan Dekan FUAD IAIN Bukittinggi), dipandu oleh moderator Dr. Zulfan Taufik (Kaprodi Aqidah & Filsafat Islam IAIN Bukittinggi).
Kegiatan ini memperoleh antusiasme besar dari masyarakat. Terbukti dari jumlah peserta yang ikut mencapai 297 Orang dari 96 institusi yang berbeda. Baik dari perguruan tinggi, sekolah, kementerian, Lembaga Swadaya Masyarakat, sampai dengan lembaga gereja, serta juga masyarakat umum.
Dalam uraiannya, Suhadi menyebut bahwa pembatasan kebebasan beragama dalam bentuk forum eksternum (manifestasi agama) yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti pelarangan ibadah secara berjamaah di rumah ibadah merupakan sesuatu yang legitimate menurut hukum HAM internasional dan nasional, karena terkait kesehatan publik (public health). Hal senada dikatakan Ridha Ahida bahwa secara filosofis, setiap hal kebebasan yang dimiliki manusia individu secara relatif akan terbatasi ketika berhubungan dengan individu lainnya, kebebasan kelompok akan terbatasi dengan kebebasan kelompok lainnya, maupun kebebasan individu dan kelompok akan terbatasi dengan kemaslahatan umum yang lebih tinggi. Adapun Nunu Burhanuddin mengatakan bahwa agama, dalam hal ini Islam, menetapkan keselamatan jiwa manusia (hifz al-nafs) sebagai salah satu tujuan dari pensyariatan. Sehingga dapat dimaknai bahwa pembatasan dalam kebebasan beragama sah dalam agama selama terkait penyelamatan terhadap jiwa manusia. [Humas IAIN Bukittinggi/ZT]