AKHIR-AKHIR ini diskusi di ruang publik terkait dosen menukik ke soal, kenapa dosen atau ilmuwan Indonesia tidak pernah muncul sebagai penerima hadiah nobel? Pertanyaan itu sederhana namun menusuk dalam.
Banyak kalangan kampus bereaksi memberikan respons yang berbeda pada dua hal yaitu soal minimnya kesejahteraan dosen dan beban berat administrasi yang menghimpit. Dua ini dipandang sebagai biang kerok dosen Indonesia kurang produktif (jika tidak boleh disebut mandul).
Alih-alih diperhitungkan di level internasional, dosen malah sibuk pada urusan administrasi dan soal jaminan agar “dapur tetap berasap”. Ide, gagasan, dan analisis dari dosen dirasakan kurang bergaram.
Namun tepatkah persoalan beban administrasi dan kesejahteraan yang minim dikedepankan sebagai determinasi dosen Indonesia kurang diperhitungkan dan direkognisi di level internasional?
Jika sudah dibenahi birokrasi yang memberati dosen dan kesejahteraan ditingkatkan, adakah jaminan “makan tangan” dan kiprah dosen Indonesia di kancah internasional dan muncul sebagai peraih nobel bidang ilmu pengetahuan?
Pahami Dosen secara Jernih
Profesi dosen diatur dalam berbagai regulasi termasuk mengatur kewajiban administrasi pada tugas tridharma perguruan tinggi dan pendapatan dosen. UU No. Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP No. 37 Tahun 2009 tentang Dosen, UU No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, jelas dan tegas menyatakan bahwa dosen adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diberi tugas keprofesionalan: mengajar, meneliti dan mengabdi.
Bagi dosen melekat aturan ASN yang dikenal sarat birokratisasi dan administrasi. Dalam dharma penelitan dosen diwajibkan melaporkan kegiatan penelitian dengan tuntutan yang ketat dengan segunung tumpukan kuitansi dan dokumentasi. Laporan admisnistrasi lebih utama dibanding laporan akademik penelitian (out-come).
Alhasil, tebal laporan administrasi melebihi laporan akademik yang memuat temuan penting riset. Tak jarang pula dosen sebagai peneliti berdebat keras dengan auditor internal; Inspektorat Jenderal Kementerian (Itjen) dan eksternal; Badan Pengawas Keuangan (BPK) yang dominan memeriksa administrasi.
Hal ini adalah konsekuensi logis dari aturan yang ada. Dosen memang tidak bisa lepas dari beban administrasi ini karena aturannya jelas. Petugas Itjen dan BPK hanya melaksanakan aturan yang ada.
Untuk keluar dari kondisi ini diperlukan peninjauan regulasi secara total bukan parsial dan insidentil. Selama itu tidak dilakukan, hiruk-pikuk tentang dosen hanya bak suara muadzin di padang pasir – keras dan lantang tapi hilang ditelan hembusan angin gurun yang kuat.
Begitu pula tentang kesejahteraan dari penghasilan yang diterima dosen. Regulasi juga telah menetapkan penghasilan finansial dosen sebagai imbalan tugas kedosenan sesuai prinsip penghargaan terhadap prestasi dan kinerja.
Dosen memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Komponen penghasilan meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan.
Selain itu juga ada maslahat tambahan; insentif sebagai pembimbing, promotor dan co-promotor, dan penguji tugas akhir, honor sebagai invited speaker, dan tugas kedosenan lainnya dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Ukuran dan takaran penghasilan sah bagi dosen sangat clear.
Dosen sebagai pendidik profesional atau ilmuwan melalui kanal tugas mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat memperoleh penghasilan untuk menopang kehidupan dan kesejahteraannya.
Jika dosen ingin penghasilan lebih, jalan yang dapat dilalui adalah dengan meningkatkan profesional, kinerja dan prestasi sesuai keahlian. Bekerja sampingan dengan mengelar “lapak” umega (usaha menambah gaji) dapat berimplikasi mereduksi martabat keprofesionalannya, mencederai dan menurunkan profesionalitas.
Faktor Intrinsik
Permasalahan beban berat adminisitrasi dan soal minimnya penghasilan dosen harus dipahami secara jernih dan arif. Dua hal ini kurang tepat dijadikan sebab dosen Indonesia miskin reputasi dan rekognisi di level internasional.
Pengalaman penulis lebih kurang 8 tahun memimpin dan mengurus bidang akademik mendapati dosen yang memiliki tugas tambahan memiliki rekam jejak akademik yang baik. Promosi jabatan fungsional dosen dengan tugas tambahan yang notabene bersitungkin mengurus administrasi lebih cepat dibanding dengan dosen yang hanya mengajar.
Dosen-dosen dengan tugas tambahan lebih memiliki adrenalin yang kuat dan terasah dengan urusan admisnistrasi dan birokrasi. Sehingga tidak jadi penghalang dalam menjalanan tugas tridharma.
Dari penelusuran, 5 besar dosen dengan karya akademik dan sitasi terbaik ditemukan nama Abdul Rohman (Universitas Gadjah Mada), Riyanto Sarno (Institut Teknologi Sepuluh Nopember), Rudy Pramono (Universitas Pelita Harapan), Brian Yuliarto (Institut Teknologi Bandung), dan Ahmad Taufiq (Universitas Negeri Malang).
Mereka tersebut bukan hanya sebagai dosen an-sich tapi juga memiliki tugas tambahan seperti Kepala Pusat Studi dan Pusat Laboratorium di perguruan tinggi masing-masing (https://sinta.kemdikbud.go.id/authors, diakses tanggal 11 mei 2023).
Begitu juga dengan penghasilan. Variatifnya komponen penerimaan dosen dewasa ini membuat income dosen sudah lebih dari cukup. Problemnya bukan pada jumlah tapi tata kelola penghasilan yang diterima.
Tahun 2008 awal dimulai sertifikasi dosen (serdos) menjadi awal kenaikan signifikan penghasilan dosen – naik 1 kali gaji pokok. Tujuan utama serdos adalah meningkatkan kesejahteraan, martabat dosen dan profesional dosen.
Dosen diharapkan lebih produktif dan angka kredit (KUM) kegiatan tridharma PT semakin banyak sehingga cepat promosi jabatan fungsional yang lebih tinggi. Namun kenyataan, banyak juga dosen menggunakan tambahan penghasilan itu untuk hal di luar peningkatan profesionalitas.
Tambahan penghasilan malah membawa peningkatan angka kredit rumah, kendaraan, dan gaya hidup dosen cenderung hedonis. Lalu apa yang penyebab kenapa dosen Indonesia minim reputasi dan tidak pernah tercatat sebagai penerima hadiah nobel?
Menurut penulis, faktor yang penting untuk diperhatikan adalah faktor intrinsic yaitu menurunnya spirit intelektual atau rendahnya spirit of inquiry. Spirit of inquiry merupakan semangat untuk berdedikasi tinggi, selalu mencari, menelaah dan mengkaji keilmuan sesuai disiplin serta mencurahkan segala kemampuan untuk suatu temuan yang baru.
Spirit of inquiry menjadi input untuk dapat memproduksi karya-karya yang bereputasi tinggi dan prestisius serta memberikan kemanfaatan bagi semesta kehidupan dan pemecahan masalah.
Putaran jarum sejarah pengembangan ilmu pengetahuan membuktikan hal ini. Jujun S Suriasumantri, (1995) dalam karyanya, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer menukilkan bahwa karya ilmuwan yang prestisius, melegenda dan dimanfaatkan luas merupakan hasil proses dedikasi tinggi, semangat menemukan hal baru, butuh waktu lama dan eksprimen berkali-kali sehingga dapat memproduksi temuan-temuan ilmiah yang bermanfaat.
Teori elektromagnetik karya William Gilbert dan James C Maxcell butuh waktu 250 tahun dirasakan manfaatnya. Michael Faraday butuh waktu 50 tahun menghasilkan teori kawat mengantarkan listrik.
Dalam tradisi Islam, perawi hadis tersohor Imam Bukhari (194-256 H), melakukan pencarian melalui pengembaraan nan panjang, mencurahkan tenaga, dan menghabiskan waktu bertahun-tahun “tanpa SPPD dan uang saku” untuk menguji kevalidan dan mendapatkan keterangan yang lengkap tentang hadis.
Dosen yang memiliki spirit of inquiry yang kuat maka beban berat adminstrasi dapat ditaklukan. Deretan karya prestisius dan berekognisi serta memiliki kemanfaatan luas yang dihasilkan dosen akan mendatangkan kemaslahatan yang lebih untuk kesejahteraan dosen. Semoga! (Asyari, Wakil Rektor 1 UIN Bukittinggi)
Sumber : https://padek.jawapos.com/opini/06/06/2023/dosen-dan-spirit-of-inquiry/