Bukittinggi (Humas) – Pusat Studi AKAL (Agama dan Kearifan Lokal) Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi bekerja sama dengan PUSAD Paramadina Jakarta menggelar diskusi buku bertajuk “Ketegangan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia: Telaah Sejarah, Politik, dan Hukum” pada Rabu (4/12) di Aula Gedung Egypt.
Diskusi ini membahas isu krusial pengelolaan keberagaman agama di Indonesia dengan menghadirkan Ihsan Ali-Fauzi, Ph.D. (Direktur PUSAD Paramadina), Prof. Silfia Hanani (Rektor sekaligus Guru Besar Sosiologi UIN Bukittinggi), dan Prof. Syafwan Rozi (Dekan FUAD sekaligus Guru Besar Studi Agama-Agama UIN Bukittinggi). Diskusi dipandu oleh Dr. Zulfan Taufik, yang membuka acara dengan pandangan kritis terkait realitas multikultural Indonesia.
Diskusi ini menarik perhatian lebih dari 100 peserta, mulai dari dosen, mahasiswa, hingga masyarakat umum. Buku yang dibahas, hasil kolaborasi antara PGI, PUSAD Paramadina, ICRS, dan Sekber KBB, menyajikan analisis historis, politik, dan hukum tentang dinamika kebebasan beragama dan kerukunan.
Ihsan Ali-Fauzi membuka diskusi dengan menyoroti bagaimana dua konsep besar yakni kebebasan beragama sebagai hak individu dan kerukunan sebagai harmoni sosial, sering kali saling bertentangan dalam praktik di Indonesia.
Dok: Narasumber Diskusi FUAD AKAL Book Club dalam paparan terkait Kebebasan dan Kerukunan Beragama
“Kerukunan beragama di Indonesia sering kali dicapai dengan mengorbankan kebebasan individu. Namun, upaya menciptakan harmoni tanpa dialog yang mendalam akan menghasilkan kerukunan yang semu,” jelas Ihsan. Ia mengajak peserta untuk merenungkan bagaimana kebebasan dan kerukunan dapat berjalan berdampingan tanpa saling menentang.
Prof. Silfia Hanani menambahkan perspektif historis, mengangkat sikap kenegarawanan Bung Hatta yang meminta kelompok Islam terkait penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebagai bentuk pengorbanan demi persatuan bangsa.
“Kerukunan itu lahir dari keberanian untuk menurunkan ego dan menghargai perbedaan. Dialog dan harmoni adalah kunci untuk menciptakan kebersamaan,” ungkapnya.
Ia mengangkat kisah sejarah perjuangan bangsa sebagai bukti bahwa kerukunan dapat dicapai melalui semangat saling menghargai. “Kerukunan bukan hanya soal harmoni, tetapi juga keberanian untuk membuka ruang bagi perbedaan,” tambah Silfia.
Sementara itu, Prof. Syafwan Rozi menegaskan bahwa kebebasan beragama tidak bersifat absolut dan harus mempertimbangkan nilai-nilai komunal. “Kebebasan dan kerukunan harus disintesiskan. Ini bukan soal memilih salah satu, tetapi bagaimana keduanya bisa saling melengkapi demi kebaikan bersama,” tuturnya. Menurutnya, sintesis antara nilai-nilai kebebasan dan kerukunan adalah kunci dalam pengelolaan keberagaman agama.
Diskusi yang berlangsung selama tiga jam ini mendapat antusiasme tinggi dari para peserta yang terlibat aktif dalam sesi tanya jawab. Penyelenggara berharap, melalui diskusi ini, masyarakat dapat memahami pentingnya menemukan titik keseimbangan antara kebebasan dan kerukunan untuk menjaga harmoni sosial di Indonesia.
“Kegiatan ini menjadi salah satu bentuk kontribusi Pusat Studi AKAL-FUAD UIN Bukittinggi dalam menciptakan diskursus akademik yang lebih inklusif dan solutif mengenai pengelolaan keberagaman,” tutup Zulfan Taufik, Direktur Pusat Studi AKAL.
Dikatakannya, upaya seperti ini menjadi langkah penting dalam mendorong dialog yang konstruktif dan inklusif demi masa depan bangsa yang damai dan penuh toleransi. (*Humas UIN Bukittinggi/WA)