BSI dan Ketahanan Ekonomi

BSI dan Ketahanan Ekonomi

Oleh: Asyari
Wakil Rektor 1 IAIN Bukittinggi / Dewan Pengawas Syariah LKS

Kehadiran Bank Syariah Indonesia (BSI) membawa harapan baru bagi penguatan ekonomi melalui perbaikan perilaku ekonomi. BSI hadir dengan indikasi  positif  sebagai  generator untuk menormalkan kembali perilaku ekonomi masyarakat yang telah lama berada di kubangan  egoisme, spekulatif, dan predator  kearah ekonomi berkeadilan, berbasis ril dan bersinergi.

Tulisan berikut membentangkan sisi lain kehadiran BSI dari aspek tantangan pembentukan   dan penguatan   perilaku ekonomi berkeadilan, tidak spekulatif dan kebersamaan. Diharapkan  perilaku ini  akan menjadi  power untuk ketahanan,  efisiensi dan growth ekonomi yang lebih besar.

Bersaing dan Memangsa (Predator)

Jamak dipahami dan tidak menjadi rahasia lagi bahwa persaingan antar-pelaku lembaga keuangan syariah (LKS) cukup kompetetif dan berlapis. LKS selain menghadapi competitor lembaga keuangan  konvensional  juga berkompetisi dan bersaing  antar-sesama LKS. Di level akar ruput, LKS  juga bersaing dengan “bank gelap”  pengejar rente yang banyak  beroperasi tanpa birokrasi panjang dan rumit dengan  syarat yang longar  untuk mendapatkan dana likuid.

Semua lembaga keuangan “mengeroyok” segment pasar  yang terkonsentrasi  dan dominan pada segmen  perdagangan, industri, pertanian dan PNS. Khusus bagi LKS, persaingan yang ketat dan berlapis ini cenderung mendorong untuk mengabaikan aspek kepatuhan syariah dan  menciptakan saling memangsa nasabah. Tak jarang pula saling membajak pegawai (SDM)  untuk kepentingan  capaian maksimum target bisnis dan menjadi leader  antara lembaga di pasar keuangan.

Kondisi kompetisi antara sesama LKS tentu sangat tidak  produktif dan jauh dari nilai edukatif. Hal ini sama dengan mempertontonkan persaingan saling memangsa  sesama bak  perilaku  predator dalam berekonomi di masyarakat.

Hadirnya  BSI tentu diharapkan dapat menghilangkan persaingan antar- LKS  paling tidak bank-bank syariah  yang merger menjadi BSI.  Kompetitor dulu dan kini tentu menjadi kawan dalam semangat yang sama membersarkan dan menjadikan LKS lebih ekspansif. Image negatif selama ini; bank syariah memangsa  syariah lain pelan tapi pasti menjadi hilang.

 Perilaku adil dan Daya  Tahan Ekonomi

Jika dinapaktilasi  sejarah kehadirian LKS di Indonesia jelas  memiliki misi yang tegas untuk membebaskan  masyarakat dari sistem ribawi dan membagun  ekonomi berkeadilan dan menguatkan kebersamaan serta bertumpu pada  sektor ril.  Prinsip utama pembiayaan di LKS adalah berbagi hasil (akad mudharabah dan musyarakah)  dan berprinsip jualbeli ( murabah) menjadi leading sector dalam merealisasikan misi tersebut. Skema pembiayaan bagi hasil memiliki titiktumpu dan berfokus  pada penyaluran dana dari pemodal (fund provider/surplus unit) ke sektor ril/ defisit unit dengan pola berbagi hasil dan resiko (profit and loss sharing).  Dengan skema ini, pada  pelaku usaha  yang berjiwa entrepreneur  memiliki constraint modal dalam  memulai, dan  mengembangkan serta   melakukan ekspansi usaha dapat terbantu. Dukungan modal dengan skema bagi hasil ini menciptakan keadilan dan kebersamaan dalam hubungan pemberi dana/modal (kreditur)  dengan pelaku sektor ril (debitur).

          Dalam berusaha sektor ril berhadapan ketidakpastian (uncertanty) antara profit (untung) atau loss (rugi).  Profit dari usaha dibagi sesuai kesepakatan nisbah  dan loss pun akan dibagi sesuai proporsi modal para pihak. Harus diakui juga skema bagi hasil juga sarat resiko terutama resiko trust/kejujuran pelaku usaha dalam melaporkan cashflow usaha dan prilaku modal hazard. Prilaku  galia dalam berhutang jamak ditemukan.

          Skema lain pembiayaan LKS adalah murabahah sebagai pembiayaan dengan prinsip jualbeli. Skema ini menuntut aset yang jelas dan berbasis underlaying. Margin sebagai keuntungan dari pembiayaan ini diperoleh dari cerminan kondisi  ril di pasar. Debitur akan melakukan pembayaran cicilan pembiayaan dari pokok hutang ditambah dengan margin yang lahir dari aset ril dan sesuai harga yang berlaku pasar berdasarkan kesepakatan. Skema ini membentuk gerak ekonomi  berbasis aset dan ril serta bukan transaksi false dan spekulaitif. Antara kreditur  dan debitur  terjalin hubungan transaksi yang  transparan.

          Secara ekonomi,    sektor ril yang dibiayai dengan  skema bagi hasil  dan prinsip jualbeli ini akan merefleksi kondisi sesunguhnya  di sektor ril. Sektor  moneter dengan  sektor ril terjalin  kuat dan  berjalan dengan seimbang dan tidak terpisah. Ini menjadi embrio dan  membuat ekonomi memiliki daya tahan (resiliense) terpaan krisis.  Skema pembiayaan syariah yang memiliki ketahanan ini telah menjadi evidence tidak terbantahkan dan diragukan pada krisis 1998. Sektor usaha yang dibiayai dengan skema bagi hasil dan berbasisi aset relatif dapat  bertahan dari hantaman krisis dan peluruhan ekonomi dibanding sektor lain lebih dulu luluh-lantak.

The last but not the least,  kehadiran BSI yang launching  awal Februari Tahun ini diharapkan dapat memainkan peran tidak hanya sebagai  lokomotif besar bagi perekonomian. Lebih dari itu ditantang untuk  menormalkan kembali perilaku ekonomi masyarakat yang lama dirasuti oleh spekulatif dan egois.  Ikhtiar untuk betul-bentul mempraktekkan  skema syariah diharapkan berbuah pada  pertumbuhan ekonomi dengan pondasi perilaku keadilan, kebersamaan, dan  berbasis sektior ril sehingga ekonomi menjadi kuat dan memiliki resilien  terhadap krisis. Semoga

Aksesibilitas