Analisis Perilaku Ekonomi WFH
Oleh: Asyari
Wakil Rektor 1 IAIN Bukititinggi
Penyebaran Covid-19 yang terus merangkak naik dalam satu bulan belakangan ini telah memaksa kalangan pemerintahan baik daerah maupun pusat dan sektor dunia usaha kembali melaksanakan kebijakan Work From Home (WFH) bagi pekerja/karyawan atau ASN. Bagi sektor industri ataupun di sektor pelayanan publik, Kebijakan WFH bagi pekerja bukanlah hal baru. WFH telah lama muncul dan dipraktekkan di negara-negara industri dan populer dengan sebutkan lainnya; remote work, teleworking, homework, home office, dan mobile work.
Masukknya teknologi ke proses kerja menciptakan efesiensi biaya dan meningkatkan produktivitas serta akhirnya diharapkan keuntungan naik. Sekarang WFH populer karena di era pandemic yang belum tahu kapan berakhirnya, sektor pemerintahan (pelayanan publik), sektor esensial dan non esensial dan industi harus tetap berjalan dan berproduksi.
Namun disadari bahwa WFH bak pisau bermata dua. WFH memiliki dampak pada keseimbangan kehidupan di sektor domestik pekerja/karyawan di sektor industri atau ASN di sektor pemerintahan dan memunculkan perilaku kontra produktif dan menganggu dalam pencapaian target yang telah ditetapkan. Tulisan ini menelaah sisi perilaku ekonomi dari implimentasi WFH serta instrumen yang dapat diperkuat sebagai preventif atau paling tidak meminimalkam dampak negatif WFH.
Peluang Mis-Behavior
Dalam prakteknya, WFH melahirkan adanya migrasi tugas/ranggungjawab/pekerjaan yang semula di tempat kerja ke rumah. Jumlah tugas-tugas yang migrasi ke rumah berbanding positif dengan jumlah pekerja atau tanggungjawab di kantor. Konsekuensi logis dari migrasi ini adalah ektra akumulasi tugas/pekerjaan di rumah. Di sisi lain, WFH menjadikan pekerja atau ASN bekerja “bebas” tanpa pengawasan langsung atasan dan supervisor secara fisik. Kondisi ini menjadi embrio munculnya peluang perilaku yang kontraproduktif atau mis-behavior.
Model teori keagenan (theory principal-agent) dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku yang kontraproduktif tersebut. Model Principal-Agent (PA) digunakan untuk menjelaskan hubungan satu atau lebih orang/pihak, dimana satu pihak sebagai principal dan pihak lain sebagai agent. Principal adalah orang/lembaga dengan kekuasaan yang paling tinggi dalam sebuah organisasi atau seseorang yang mempekerjakan orang lain sedangkan Agent mempunyai arti, seorang yang bekerja untuk orang lain atau lembaga (Hornby, 1996).
Dalam literatur ekonomi, model PA dipopulerkan di tahun 1960. Namun jauh sebelumnya secara substansi telah ada. Adam Smith, membicarakan bentuk hubungan P-A ketika menjelaskan upah dalam kontrak pertanian. Dalam kontrak pertanian tersebut pekerja dan majikan berada dalam ruang dan tempat yang berbeda selain memiliki perbedaan kepentingan; pekerja menginginkan upah maksimal namun dengan sedikit usaha (supply effort) dan majikan menginginkan sebaliknya. Pekerja dan majikan yang berada dalam ruang dan tempat berbeda akan menjadi peluang munculnya mis-behavior dari pekerja.
Selain menciptakan akumulasi perkerjaan yang mengakibatkan terganggunya pekerjaan dan kehidupan di sektor domestik/rumah tangga, WFH juga dapat memproduksi perilaku moral hazard pekerja atau ASN; tidak berkerja secara maksimal, wasted time, dan mengerjakan pekerjaan domestik di saat WFH. Selain tidak adanya atau juga berkurangnya pengawasan langsung, perilaku kontraproduktif ini juga disebabkan oleh berbagai faktor physikis saat WFH misalnya; marah (anger) dan balas dendamserta stress kerja. Kondisi ini akan mengakibatkan WFH tidak berjalan maksimal.
Agama dan Cultural Belief
Efek negatif dari WFH memang tidak bisa nafikan dan perlu diatasi. Regulasi yang diproduksi oleh regulator telah banyak untuk membuat pekerja/ASN memiliki komitmen dan tanggungjawab pada kerja. Karena kurangnya ketauladan dari leader, berdasarkan pengalaman, dan penerapan tebang-pilih membuat regulasi tidak bergaram dan bernyali. Alih-alih regulasi diharapkan dapat mengarahkan dan membentuk perilaku tapi kebanyakan regulasi hanya kuat di atas kertas. Untuk itu selain regulasi, menurut penulis penting juga untuk menempatkan agama dan budaya dalam kontek WFH dengan pendekatan model PA. Awalnya memang suatu hal yang tabu (taboo) membicarakan agama dalam organisasi Namun seiring perkembangan, pimpinan organisasi mulai mencari dan mengunakan agama sebagai faktor untuk menjadikan pekerja lebih memiliki komitmen dan tanggungjawab terhadap kerja (Garcia-Zamor,2003).
Agama dapat dikapitalisasi sebagai instrumen untuk menguatkan komitmen pekerja/ASN terhadap tugas/kerja atau tanggungjawab. Agama sebagai instrumen ini diarahkan pada bagian inti dan terdalam dari agama adalah sprituality. Spiritualiti dapat menjadikan seseorang pekerja memiliki pemahaman mendalam tentang tujuan hidup dan memiliki motivasi tinggi serta menurunkan perilaku kontraproduktif. Agama dapat menjadi kontrol terhadap perilaku pekerja. Agama membuat pekerja memperoduksi perilaku positif di lingkungan kerja akan menciptakan kinerja yang lebih baik Beberapa penelitian telah mengungkap bahwa spirituality dapat mengatasi masalah rendanya komitmen organisasi, kepuasan kerja dan masalah kinerja (performance) dan membantu seorang pekerja menurunkan perilaku kontraproduktif karena spirituality menjadi kontrol terhadap perilaku pekerja (Akkerman, dkk, 2020).
Selain agama, nilai-nilai budaya yang telah menjadi bagian inhren dan secara turun-temurun diyakini dalam kehidupan masyarakat dapat dikapitalisasi untuk memperkuat komitmen kerja pekerja/ASN di saat WFH. Nilai-nilai budaya yang kuat melekat dan diyakini masyarakat sebagai bagian dalam perilaku (cultural belief) dapat mengarahkan dan membentuk perilaku taat pada aturan, komitmen, janji atau kesepakatan yang telah dibuat (Zasu, 2007). Banyak temuan peneliti yang mengungkap nilai budaya dikapitalisasi sebagai penguat dan peningkat komitmen kerja dan sebagai preventif perilaku kontra produktif. Quanxi sebagai nilai budaya diambil dari nilai Confusian Ethic. Quanxi diartikan sebagai hubungan atau jaringan antara dua orang lebih dalam hubungan bisnis. Pelaku bisnis memegang kuat nilai budaya quanxi. Quanxi menjadikan member memiliki komitmen dan patuh atas tanggungjawab. Untuk menjamin keberlangsungannya, Quanxi memiliki sanksi seperti disgrace dan blacklistserta exit dari komunitas.
Dan juga nilai-nilai budaya dalam bentuk collectivism, di kalangan komunitas bisnis Magribi (Spanyol) telah mempu menguatkan nilai dan semangat kebersamaan. Masyarakat saling mengingatkan dan saling kontrol untuk tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan semangat bersama. Jika ada yang melanggar maka seluruh member dalam komunitas ikut tamggung renteng. Untuk itu, semua members terdorong untuk terus saling kontrol. Di Jepang ada Kubu Nakama. Nakama adalah komunitas yang dihuni oleh anggota yang memiliki kubu. Kubu merupakan group yang mendapat pengakuan publik. Kubunakama ber fungsi sebagai benteng dari tindakan menyimpang yang dilakukan (Asyari,2016).
What the next
WFH sebagai salah satu media dan bagian ikhtiar untuk memutus penyebaran Covid-19 di kluster kantor dan dunia industri akan terus berlanjut seiring dengan melonjaknya angka positif Covid-19. Sementara pelayanan di sektor publik dan pekerja di sektor-sektor industri (pabrik) mesti tetap jalan dan berproduksi. Meski disadari kebijakan WFH ini melahirkan dampak ganda bak pisau bermata dua maka penguatan pemahamam, penghayatan dan pengamalan ajaran agama dan nilai budaya dalam kehidupan nyata bagi pekerja/ASN mutlak dilakukan. Diharapkan nilai-nilai agama dan buadaya dapat menjadi instrumen preventif perilaku kontraproduktif atau sekurang-kurangnya memperkecil jika tidak dapat menghilangkan. Kontrol sosial dan saling mengingatkan terhadap kerja/tanggungjawab atau komitmen dari kolega, masyarakat dan lingkungan sebagai bagian dari implementasi nilai budaya yang kita anut diharapkan berjalan baik sehingga pintu bagi perilaku kontraproduktif tidak terbuka lebar jika tidak dapat menutup. Semoga!