PAHLAWAN ZAMAN NOW: DARI MEDAN PERANG KE MEDAN DIGITAL

Tanggal 10 November tiap tahun rakyat Indonesia selalu memperingatinya sebagai Hari Pahlawan dan di zaman digital ini sudah menjadi live style, semua pada rame-rame posting caption di media sosial masing-masing dengan kalimat “Selamat Hari Pahlawan” baik di Instagram, X, FB atau TikTok, pada pakai foto hitam putih pejuang dengan backsound lagu “Gugur Bunga.” Tapi, abis itu ya udah, scrolldown lagi, lanjut nonton reels, atau malah rebahan lagi sambil buka game. Padahal, kalau dipikir-pikir lebih dalam, Hari Pahlawan itu bukan cuma tentang perang, bambu runcing, atau cerita masa lalu yang haru-biru di buku sejarah. Hari Pahlawan harusnya jadi momen tepat buat kita nanya ke diri sendiri: “Kalau dulu mereka berjuang lawan penjajah, sekarang kita berjuang lawan apa, dan siapa sebenarnya yang bisa disebut sebagai pahlawan saat ini?”Zaman dulu, pahlawan itu sangat nyata yaitu mereka yang angkat senjata, berani mati buat ngebela tanah air, tapi zaman now, musuhnya bukan lagi pasukan berseragam dan senjata laras panjang, musuhnya lebih halus, lebih pinter ngumpet, tapi efeknya bisa sangat berbahaya. Ada kemalasan, ada kebodohan digital, ada korupsi, hoaks, bully dan mental skip ad dalam hidup generasi now alias pengen semua instan, tanpa usaha. Nah, di titik inilah kita sangat butuh sosok pahlawan baru, bukan yang sanggup laga di medan perang, tapi yang berjuang di medan realita dan platform digital.Kalau dulu pahlawan berteriak “Merdeka atau mati!”, sekarang mungkin slogannya berubah jadi “Berkarya atau lenyap!”. Karena, jujur aja, di era digital ini, eksistensi diri bukan lagi ditentukan dari status sosial seseorang, tapi dari seberapa besar kontribusi dia buat republik tercinta ini. Ada beberapa ciri pahlawan zaman now yang mesti diketahui yaitu; yang pertama, pahlawan masa kini adalah mereka yang bisa ngasih impact positif di dunia maya. Misalnya, content creator yang nggak cuma bisa bikin orang ketawa tapi juga bikin orang mikir tentang nasib bangsa di masa depan. Influencer yang nggak cuma target ngejual barang, tapi juga ngejual nilai dan makna kebangsaan, guru yang sanggup ngajarin muridnya lewat konten media sosial edukatif. Programmer yang bisa bikin aplikasi buat bantu UMKM meroket ke pasar dunia. Mereka semua bisa disebut pahlawan, meskipun nggak punya pangkat, seragam atau senjata.Kedua, pahlawan zaman now adalah mereka yang berani speak up dengan suara lantang buat kebenaran di tengah banjir informasi yang sering nggak jelas juntrungannya. Di dunia yang isinya banyak berita clickbait, fitnah, dan politik receh, dia berani bilang “ini salah” sudah termasuk aksi heroik. Tapi tentu aja, speak up itu nggak boleh pakai emosi. Pahlawan digital yang sejati tuh yang tahu kapan harus bicara dan kapan harus ngasih bukti. Mereka yang bisa ngelawan kebohongan bukan dengan marah-marah, tapi dengan data, logika, dan empati.Ketiga, pahlawan zaman now adalah mereka yang berani ngelawan musuh dalam diri sendiri. Iya, lawan paling berat emang bukan yang di luar sana, tapi di dalam diri sendiri. Lawan rasa insecure, malas, overthinking, dan mental rebahan yang kerap jadi alasan buat nggak maju. Pahlawan hari ini bukan yang punya otot kuat, tapi mental yang nggak gampang nyerah, yang terus berjuang walau jatuh, yang nggak cari validasi tapi terus berproses. Di dunia yang serba kompetitif kayak sekarang, bertahan aja udah bentuk perlawanan.Kalau mau jujur, generasi hari ini kadang terjebak dalam paradoks: pengen jadi hebat, tapi gampang cemen, pengen jadi berpengaruh, tapi takut gagal, pengen jadi pahlawan, tapi males berjuang. Padahal, pahlawan sejati nggak lahir dari kemudahan, tapi dari konsistensi. Lihat aja dulu para pejuang, mereka nggak punya kamera buat dokumentasikan perjuangan mereka, tapi semangatnya masih abadi sampai sekarang. Kita yang hidup di zaman serba mudah malah sering kalah semangatnya dengan mereka. Ironis, kan?Coba deh bayangin kalau para pahlawan dulu hidup di era medsos kayak sekarang. Soekarno mungkin punya channel YouTube buat orasi, Cut Nyak Dien bisa jadi ikon feminisme di TikTok, dan Bung Tomo mungkin trending tiap hari karena semangatnya yang meledak-ledak. Tapi yang pasti, mereka nggak akan pakai medsos cuma buat flexing. Mereka bakal pakai buat nginspirasi banyak orang, buat nyadarin banyak orang, buat nyebar nilai perjuangan dengan cara yang relate sama zamannya. Nah, itu pelajaran penting setiap generasi punya cara heroiknya sendiri, dan tugas kita adalah nemuin cara heroik versinya zaman kita.Sekarang, jadi pahlawan tentunya nggak harus ngangkat senjata, tapi cukup ngangkat empati, nggak harus teriak di medan perang, tapi cukup bersuara di ruang digital, nggak harus punya pangkat tinggi, tapi cukup punya integritas dan komitmen. Dunia hari ini nggak butuh banyak orang populer, tapi butuh banyak orang jujur dan tulus. Karena yang pertama, ketulusan lebih langka daripada ketenaran. Kedua, kejujuran lebih berharga daripada like dan follower. Dan ketiga, kebaikan kecil yang konsisten bisa punya efek besar, kayak algoritma YouTube yang terus nyebar dari satu orang ke yang lain.Tapi tentu aja, jadi pahlawan digital nggak semudah itu, Ferguso!. Tantangannya banyak banget. Algoritma bisa bikin kebaikan kalah cepat dari gosip. Komentar pedas bisa bikin semangat hidup jadi redup. Tapi di situlah seni perjuangannya. Jadi pahlawan zaman dulu juga nggak gampang kan? Mereka juga capek, lapar, penuh luka dan cacat tubuh bahkan kehilangan nyawa. Jadi kalau sekarang perjuangan kita cuma kehilangan sinyal atau semangat, ya nggak sebanding lah kalau buat kita nyerah. Kita cuma butuh satu hal: purpose. Tujuan yang bikin kita kuat ngadepin puting beliung zaman.Hari Pahlawan semestinya bukan cuma buat nostalgia, tapi buat refleksi tentang “Apa yang bisa kita perjuangin hari ini?” Karena, jujur aja, banyak dari kita yang pengen Indonesia emas tapi males. Padahal, jadi pahlawan nggak selalu soal hal besar. Kadang cuma soal sederhana namun berdampak; nggak buang sampah sembarang tempat, bantu temen yang lagi kesusahan, ngelawan hoaks di media sosial, belajar yang benar, tidak ngelawan guru dan bokap-nyokap atau sekadar tetap jujur meski nggak ada yang lihat. Hal-hal kecil itu, kalau dilakukan bareng-bareng dan konsisten, bisa jadi gerakan besar untuk kejayaan bangsa ini.Generasi hari ini sebenarnya punya senjata yang jauh lebih canggih daripada bambu runcing yaitu jempol dan jaringan internet. Tapi senjata ini bisa jadi alat perjuangan atau alat penghancuran, tergantung siapa yang megang. Kalau dipakai buat nyebar kebencian, ya beracun dan menghancurkan. Tapi kalau dipakai buat nyebar semangat dan kebaikan, itu bisa jadi revolusi digital positif yang selalu terekam dalam jejak digital mereka. Dan di situlah makna Hari Pahlawan harusnya hidup, bukan saja dari keberadaan tugu-tugu atau monumen perjuangan di persimpangan kampung, tapi di tiap tindakan kecil kita yang berani ngelawan hal-hal negatif, sekecil apa pun itu.Jadi, di era yang semuanya serba cepat dan viral ini, kita nggak perlu menjadi pahlawan yang seperti zaman dulu, kita butuh pahlawan yang nyata, yang masih terus berjuang menggapai cita-cita meskipun capek, yang tetap idealis meski dicibir, yang tetap berkarya meski nggak viral. Karena terkadang, jadi pahlawan itu sesederhana dan terus berusaha jadi versi terbaik dari diri sendirimu sendiri, setiap hari selalu konsisten, tanpa perlu diakui oleh siapa pun.Akhirnya, Hari Pahlawan bukan cuma tentang mengenang masa lalu, tapi juga soal nulis kisah baru. Kisah perjuangan generasi digital yang berani berjuang di medan baru yaitu dunia yang nggak lagi ditentukan oleh peluru atau rudal sekalipun, tapi oleh pikiran, kreativitas, dan empati, dan siapa tahu, suatu hari nanti, anak cucu kalian bakal baca nama-nama pahlawan masa kini bukan di buku sejarah, tapi di jejak digital yang kita tinggalkan dengan kebaikan. Bangga bukan? Selamat Hari Pahlawan Wahai Generasi Muda Bangsa…. teruslah produktif, bangkit berkarya, dan berjuang terus untuk kebaikan bangsa dan negara dengan cara kita sendiri…. Merdeka..!

 

 

Penulis:  Dr. Supriadi, S.Ag., M.Pd / Wakil Dekan 3 FTIK UIN Bukittinggi

(TimHumas/NZ)

 

 

Aksesibilitas