AICIS+ 2025 Dorong Kebangkitan Peradaban Islam Baru, Menag Nasaruddin Umar Tekankan Integrasi Ilmu dan Spiritualitas

Depok, 31 Oktober 2025 — Kementerian Agama RI menyelenggarakan Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+) 2025 di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok pada 29–31 Oktober 2025. Forum internasional ini diikuti oleh ilmuwan dan peneliti dari 31 negara, menghadirkan dialog besar antara Islam, sains, dan masyarakat global.

Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Prof. Amien Suyitno, menyatakan bahwa AICIS+ menandai posisi strategis Indonesia sebagai pusat kajian Islam moderat dunia. “AICIS menjadi ajang penting bagi ilmuwan Indonesia untuk memperkenalkan gagasan dan riset ke tingkat global, sekaligus memperkuat citra Indonesia sebagai negara plural dan toleran,” ujarnya sebagaimana dimuat dalam berita di laman Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Dalam sambutannya, Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., mengajak seluruh peserta AICIS+ untuk menjadikan forum ini sebagai momentum membangun peradaban Islam baru berbasis ilmu pengetahuan dan spiritualitas.

“Ilmu dan iman harus kembali berjalan beriringan seperti masa kejayaan Islam pada abad ke-6 hingga ke-13. Dulu, pusat ilmu seperti Baitul Hikmah menjadi simbol integrasi itu. Kini, Asia Tenggara memiliki potensi besar menjadi pusat peradaban keilmuan modern,” ujar Menag.

Menag menegaskan pentingnya kolaborasi lintas negara dalam membangun ekosistem ilmu yang damai dan berkeadaban. “Saya percaya konferensi ini akan menghasilkan kesimpulan terbaik untuk menyiapkan peradaban Islam baru yang lebih inklusif, ilmiah, dan berorientasi kemanusiaan,” tambahnya.

Dalam pandangannya, kepercayaan global terhadap Indonesia sebagai negara Muslim moderat menjadi modal besar diplomasi kemanusiaan. “Indonesia dipandang sebagai negara independen yang mampu menawarkan solusi damai di tengah konflik global, termasuk isu kemanusiaan di Timur Tengah,” tuturnya.

Selain isu perdamaian, Menag juga memperkenalkan konsep Ekoteologi Islam, yaitu pendekatan teologis yang menekankan kasih sayang dan kepedulian terhadap alam.
“Ekoteologi adalah upaya mentransformasikan cara berinteraksi manusia dengan lingkungan berdasarkan nilai kasih sayang Allah, sebagaimana tercermin dalam Asmaul Husna,” jelasnya.

Menurutnya, krisis ekologi global menuntut respons keagamaan yang lebih empatik dan kontekstual. “Kita ingin membangun kesadaran teologis baru, bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah dan cerminan kasih sayang,” imbuhnya.

Menag juga menyoroti pentingnya pengelolaan ekonomi umat yang berkeadilan. Berdasarkan data Kemenag, potensi dana ibadah umat seperti kurban, fidyah, kafarat, dan infaq mencapai lebih dari Rp1.000 triliun per tahun, namun belum terkelola optimal.

“Dana ini bisa menjadi sumber pemberdayaan ekonomi dan penguatan kesejahteraan umat jika dikelola dengan baik,” tegasnya.

Melalui AICIS+ 2025, Kementerian Agama menegaskan peran pendidikan tinggi keagamaan Islam sebagai pusat inovasi dan etika publik. Forum ini diharapkan mampu melahirkan paradigma baru pendidikan Islam — yang tidak hanya berorientasi akademik, tetapi juga membangun spiritualitas, kemanusiaan, dan peradaban dunia yang berkelanjutan.

Kontributor: Hardiansyah Padli

Aksesibilitas