Bukittinggi (Humas) – Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi menggelar Studium Generale bertajuk “Contemporary Islamic Thought and Global Religious Dynamics: Challenges and Opportunities”, Rabu (30/4/2025), secara daring melalui Zoom Meeting.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber internasional, Prof. Engku Ahmad Zaki bin Engku Alwi, dosen dari Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA), Malaysia. Kehadirannya diharapkan memperluas wawasan civitas akademika FUAD dalam memahami tantangan dan peluang pemikiran Islam di tengah dinamika keagamaan global.
Dekan FUAD, Prof. Syafwan Rozi, dalam sambutannya saat membuka acara secara resmi menyampaikan bahwa perubahan global ini menuntut kemampuan untuk membaca realitas dengan pendekatan interdisipliner, kritis, dan transformatif.
Dok: Sambutan Dekan FUAD, Prof. Dr. Syafwan Rozi, M.Ag pada Studium Generale, Rabu (30/04/2025)
“Mahasiswa tidak cukup hanya memahami teks keagamaan dalam batasan normatif, tetapi juga harus mampu menjembatani nilai-nilai Islam dengan problematika kontemporer melalui pemikiran yang reflektif, inovatif, dan terbuka terhadap keragaman,” bukanya.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa memahami dinamika pemikiran Islam kontemporer dan relasinya dengan dinamika keagamaan global menjadi semakin penting.
”Proses ini merupakan bagian dari tugas akademik dan tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa keilmuan Islam tetap relevan, hidup, dan kontributif bagi peradaban manusia, oleh sebab itu Studium General ini perlu diikuti oleh seluruh civitas akademika FUAD UIN Bukittinggi,” lanjutnya.
Acara yang dimoderatori oleh Suriani, Ketua Program Studi Sejarah Peradaban Islam FUAD UIN Bukittinggi ini, berlangsung selama tiga jam mulai pukul 09.00 hingga 12.00 WIB. Antusiasme peserta tampak tinggi sepanjang sesi, dengan berbagai pertanyaan kritis yang diajukan kepada narasumber di akhir pemaparan materi.
Prof. Engku Ahmad Zaki mengulas pentingnya keberlanjutan diskursus pemikiran Islam yang dinamis di tengah gempuran arus globalisasi. Ia menyoroti bahwa di Malaysia, meskipun secara umum mengikuti mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah dan mazhab Syafi‘i, terdapat variasi dalam pelaksanaan Islam di berbagai negeri seperti Pulau Pinang, Melaka, Sabah, dan Sarawak.
Dari pengalaman itu, ia menekankan pentingnya dialog antaragama yang tidak semata-mata dilakukan dalam forum resmi, tetapi juga dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, kerja sama lintas komunitas, dan wacana intelektual. Ia menyatakan bahwa pendekatan ini juga sangat mungkin diterapkan di Indonesia yang memiliki keragaman serupa.
“Dialog bukan hanya soal berbicara, tapi tentang hidup berdampingan dengan saling memahami. Islam tidak anti terhadap keragaman, justru di situlah letak kekuatan kita sebagai umat yang rahmatan lil ‘alamin,” tutupnya. (*Humas UIN Bukittinggi/WA)
*Kontributor : Penmardianto, MA